Monthly Archives: July 2010

Konflik dan Agama

B

ermula ketika saya hendak menemui kawan lama, Jimmy M. I. Siregar yang sedang berkunjung ke Salatiga. Selama 20 menit kami berkoordinasi mengenai lokasi pertemuan lewat pesan pendek, akhirnya dia memberi koordinat di gedung G505, kampus UKSW. Sepintas saya meragukan lokasi pertemuan kami, tapi saya sangat yakin kalu teman saya yang satu ini bukan tipe penipu, kemudian aku bertanya kepada dia “Sedang bikin apa di G505? Kenapa harus ketemu disitu?” Rasanya sangat aneh saja bertemu kawan lama, yang biasanya secara santai sambil nongkrong di kafetaria, ternyata bertempat di ruang kuliah. Dia menyuruhku untuk datang saja, dia sedang menemani tamu dari India.

Setelah sampai di G505, ternyata dia sedang berada dalam suatu perkuliahan menemani Dr Valliammal yang memberikan kuliah kepada mahasiswa Paskasarjana Sosiologi Agama, UKSW. Sore itu aku mengajak Satria Anandita, ketika aku hendak menemui Jimmy. Kami langsung masuk ke ruang kuliah dan duduk dibagian depan, karena kursi belakang sudah penuh sementara Dr Valliammal telah memulai presentasinya.

Konflik di India

Saya tidak tahu apa judul presentasinya, karena saat kami masuk ke ruang kuliah tersebut sepertinya sudah melewatkan beberapa slide terdepan. Dr. Valliammal rupanya berbicara tentang konflik dan agama di India, data-datanya sangat lengkap dan dipaparkan dengan sistematis. Secara sederhana dia memetakan konflik di India dalam3 kelompok, yaitu Hindhu, Singh dan Muslim. Kemudian dia menjelaskan bahwa kelompok-kelompok yang bertikai tersbut pada awalnya bukanlah konflik keagamaan, namun sesungguhnya merupakan konflik yang berbasis politik. Ada pihak-pihak yang menghendaki jabatan politis, jabatan politis tersebut tentunya terkait dengan penyaluran aspirasi kelompok tertentu. Ketika berbicara tentang penyaluran aspirasi kelompok tertentu tentunya akan terkait dengan basis massa yang diwakilinya. Masing-masing pihak yang ingin menang tentulah menggunakan segenap daya dan upaya, sampai persinggungan yang makin keras dan akhirnya terjadi teror di sana-sini. Dalam penjelasannya lebih lanjut, fenomena teror tersebut tidak hanya terjadi di India, dia melihat ada keterkaitannya beberapa rangkaian serangan bom ataupun konflik yang terjadi terkait dengan jaringan terorisme internasional.

Konflik politik tersebut akhirnya meluas menjadi konflik yang bernuansa agama, masing-masing pihak kemudian muncul kelompok bawah tanah yang secara ekstrim melakukan aksi serangan balasan terhadap kelompok lain. Ratusan mungkin ribuan nyawa menjadi korban dari semua pihak, belum terhitung kerugian material. Lebih jauh lagi masing-masing kelompok menjadi terlalu sensitif dan menjaga jarak, pihak pemerintah dan kepolisian India sepertinya kewalahan.

Saat sesi tanya jawab, seorang mahasiswa Paskasarjana Sosiologi Agama bertanya “Apakah di India punya Pancasila, seperti halnya di Indonesia?” tentu saja ada, namun demikian ya tidak sama persis, tapi fungsinya ya sama, sebagi dasar negara, demikian jawaban dari Dr Valliammal. Karena tidak ada mahasiswa paskasarjana yang bertanya lagi, kesempatan itu kami manfaatkan. Saya lupa persisnya berapa pertanyaan yang saya dan Satria lontarkan, karena kemudian terjadi umpan balik diantara kami dan Dr. Valliammal. Sesungguhnya saya sungkan, karena saya sudah bukan mahasiswa lagi, dan kami lebih sebagai penyusup di kelas itu, namun apa mau dikata sudah ada pembicara bagus jauh-jauh dari India kok tidak ada yang bertanya lagi hanya karena menggunakan pengantar bahasa inggris.

Mempertanyakan Peran Agama dalam Resolusi Konflik

Saya menanyakan “Apa pentingnya kita beragama jika kemudian hanya akan menimbulkan konflik saja?” Dr. Valliamal terdiam sebentar, ragu dia menjawab namun dia masih mengatakan penting, yaitu agar kita masing-masing dengan sungguh memperdalam dan melakukan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan. Saya tidak puas dan melanjutkan dengan pertanyaan”Apa yang sudah dilakukan lembaga keagamaan untuk menyelesaikan masalah konflik di India?”. Saya mempertanyakan hal ini karena seolah-olah agama hanya bisa menyebabkan masalah dan tidak menghadirkan solusi. Lagi-lagi Dr Valliammal terdiam dan sempat menghela nafas panjang, dia hanya mengatakan bahwa agama berperan secara ekslusif pada para penganutnya untuk lebih mawas diri, bukan hanya menjalankan ritual agama saja tetapi melakukan refleksi mendalam atas konflik yang terjadi. Lebih lanjut dia manambahkan bahwa penyelesain konflik dilakukan oleh pihak pemerintah dengan mempertemukan pihak-pihak terkait, dan dia menyetujui hal itu karena jika inisiatif resolusi konflik dilakukan oleh salah satu kelompok yang bertikai maka akan rentan dan penuh kecurigaan oleh kelompok lainnya.

Saya tidak ingat persis pertanyaan Satria, tapi dalam penjelasan Dr. Valliammal tergambarkan kalau dia sangat berbahagia bisa belajar mengenai konflik di Indonesia. Dia mencontohkan ketika dia menyaksikan kecelakaan di Solo, dengan cepat kedua pihak yang bertabrakan saling berjabat tangan dan memperbaiki kendaraan masing-masing. Dia sangat terharu dengan hal itu, jika peristiwa tersebut terjadi ditengah-tengah masyarakat yang sensitif dan rentan konlik, maka dapat memicu konflik baru.

Sesungguhnya dalam hati saya tersenyum sinis, karena yang digunakan sebagai contoh oleh Dr. Valliammal adalah peristiwa kecelakaan. Masalah konflik di Indonesia, cukup panjang daftar konflik yang sudah terjadi. Motivasi, latar belakang dan penyebabnya bisa bermacam-macam, namun sama-sama menyebabkan korban jiwa dan juga kerugian material. Lebih jauh lagi, paska konflik tersebut tentu menyisakan trauma historis dan kejiwaan berkepanjangan.

Kalau saja saya harus melakukan kekerasan dan tindak agresi kepada orang lain, saya tidak memerlukan pembenaran dengan agama. Untuk melakukan suatu kebaikan juga saya tidak perlu alasan, apalagi alasannya adalah agama. Bagaimana mungkin manusia beragama menganggap diri baik sementara mereka melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok agama yang sama, lalu bagaimana sikap mereka dengan kelompok agama yang lain? Atau terhadap orang yang mereka anggap tidak beragama atau sesat? Haruskah kita belajar ke India mengenai konflik dan agama?

Berkebutuhan Khusus

Kata khusus cenderung diasosiasikan dengan sesuatu yang istimewa, yang membedakan dengan yang biasa. Jadi ada pemilahan yang khusus (biasanya dalan jumlah yang sedikit) dan yang biasa yang cenderung dalam jumlah banyak. Namanya saja khusus, selain karena jumlahnya yang sedikit biasanya juga mendapat perlakuan khusus pula. Sebagai contoh dalam dunia militer kita mendengar kata pasukan khusus, itu artinya bahwa anggota pasukan tersebut diseleksi, dilatih, diberi tugas dan tentunya mendapatkan fasilitas secara khusus pula, yang membedakan dengan pasukan lainnya.

Jika mendengar kata berkebutuhan khusus, maka belakangan kata tersebut merujuk pada para (maaf) penyandang cacat. Dikarenakan ada fungsi dan bagian tubuhnya yang berbeda dengan manusia lainnya maka orang tersebut dikatakan cacat, dan untuk memperhalusnya digunakan istilah berkebutuhan khusus. Padahal manusia yang terlahir dengan kondisi tidak sama dengan manusia pada umumnya, tidak semestinya dikatakan cacat, mereka memang demikian dan baik adanya.

Namun kali ini yang akan saya bahas bukan merupakan manusia yang terlahir berbeda dengan manusia pada umumnya. Secara lahiriah manusia “berkebutuhan khusus” yang saya maksud adalah manusia yang memang membutuhkan perlakuan khusus, meski tubuhnya sehat dan normal seperti manusia pada umumnya.

Analogi Bakteri Berkebutuhan Khusus

Saya teringat ketika dahulu masih kuliah sering melakuan pemilihan bakteri unggul di laboratorium. Sebagai contoh kita akan menyeleksi bakteri pembetuk Nata de coco yang paling bagus. Dari biakan campuran yang terdiri atas beragam bakteri yang membentuk Nata de coco, maka proses selanjutnya adalah membagi biakan tersebut dalam berbagai perlakuan. Misalnya perlakuan pertama adalah menggunakan medium diperkaya, diatur suhu dan keasamannya, serta ektra oksigen. Perlakuan kedua hanya dengan medium standart, diatur suhu dan keasamannya, serta ektra oksigen. Perlakuan ketiga adalam medium standar ditambah ekstra oksigen tanpa pengaturan suhu dan keasaman. Perlakuan keempat hanya dengan menggunakan medium standart tanpa pengaturan suhu, keasaman maupun ekstra oksigen.

Setelah 3 minggu maka dilakukan pengukuran ketebalan, kekenyalan, kekeruhan Nata yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan. Sudah dapat dipastikan, Nata yang dihasilkan dalam medium perlakuan pertama adalah hasilnya paling bagus, namun untuk keperluan produksi sangtalah tidak efisien, biaya produksinya terlalu tinggi jika sebuah perusahaan selalu memberikan ekstra nutien, suhu dan keasamannya yang terus dijaga beserta tambahan oksigen. Perlakuan selanjutnya secara berurutan menunjukkan penurunan kualitas. Yang menarik adah pada perlakuan yang keempat tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu berarti dibandingkan perlakuan lainnya. Setelah diteliti ulang, dalam medium perlakuan keempat ternyata masih ada bebrapa bakteri yang tidak semuannya berperan dalam proses pembentukan Nata. Bahkan ada beberapa bakteri yang cenderung mengkonsumsi nutrien dan oksigen secara berlebihan sehingga cepat menaikkan keasaman.

Diantara bakteri dalam perlakuan yang keempat tersebut, dipilah dan diperoleh satu bakteri yang menggunakan nutiren secara efisien, tidak banyak menggunakan oksigen serta dapat menghasilkan Nata yang tebal dengan kekenyalan serta tingkat kekeruhan yang cukup. Sudah barang tentu, jika saya seorang pengusaha maka saya akan menggunakan bakteri tersebut karena tidak manja dan tentunya akan menurunkan biaya produksi.

Manusia Sehat Berkebutuhan Khusus

Kembali ke cerita tentang manusia “berkebutuhan khusus”, jika kita diumpamakan untuk memilih menjadi bakteri tersebut, bakteri manakah yang kana kita pilih? Bakteri yang tidak memproduksi Nata namun mengkonsumsi oksigen dan nutrien secara berlebih, atau bakteri lainnya yang menghasilkan nata tebal dan bagus namun membutuhkan perlakuan khusus seperti pada perlakuan pertama?

Bagaimana mungkin manusia sehat dan normal memerlukan “kebutuhan khusus”? Misalnya agar kita bisa bekerja seperti tanggungjawab yang dibebankan kepada kita maka kita membutuhkan atribut dan pakaian khusus. Sampai-sampai karena kebutuhan khusus untuk atribut itu, kita sendiri merasa asing apakah kita sedang berada di negeri ini atau di belahan dunia yang lain. Atau bisa jadi kita minta supaya gelar keagamaan, gelar kehormatan, gelar akademis, jabatan kita harus ditulis dan disebutkan dengan benar beriringan dengan nama kita. Padahal kita ya sama-sama manusia. Apakah kalau semua kebutuhan khusus tersebut terpenuhi lantas kita menjadi baik? Doktor masuk penjara juga ada, orang yang dianggap beragama ataupun yang sudah ditokohkan kemudian korupsi juga banyak. Lalu apalah artinya perlakuan khusus tersebut?

Kita mendamba-dambakan menjadi yang istimewa, yaitu dengan harapan akan pemenuhan kebutuhan khusus” tersebut. Padahal untuk menjadi istimewa, tidak perlu diistimewakan atau menuntut perlakuan khusus. Kembali ke analogi bakteri, jika proses seleksi bakteri tersebut dikondisikan oleh peneliti dan  hanya untuk keperluan industri, maka jika dalam kehidupan yang sesungguhnya, proses seleksi tersebut dilakukan oleh alam. Sudah bisa ditebak siapakah yang akan dipelihara oleh alam atau akan dimusnahkan oleh alam. Pilihan ada pada kita masing-masing, mau menjadi apa?

Hukum Ketertarikan dan Bencana Umat Manusia

Mei, 2007. Ketika itu saya dalam perjalanan dari Bitung ke Manado bersama dengan Ir. Adiloekito, saya teringat betul dengan salah satu topik siaran di radio swasta tentang sebuah buku mengenai hukum ketertarikan. Kami sempat membahas topik itu, namun pembahasan hanya sebentar dan terhenti karena kami sama-sama tidak menguasai hal itu. Meski demikian apa yang disampaikan dalam acara siaran tersebut terus terngiang dibenakku dan akhirnya saya memutuskan untuk mencari dan membeli buku tersebut. Beberapa tahun setelah saya membaca buku tersebut, The Law of Attraction karangan Michael J. Losier saya baru sadar jika kehidupan saya sedikit banyaknya telah terpengaruh oleh pemikirannya. Buku ini sangat bagus namun ada beberpapa hal yang menurut saya perlu dikritisi lebih lanjut.

Hukum Ketertarikan

Ide dasar dalam buku ini adalah mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada seseorang disebabkan oleh keinginan yang ada di dalam pikiran orang tersebut, tidak peduli disadari atau tidak, tidak peduli itu baik atau tidak. Olehkarena itu kita dianjurkan untuk mulai berpikir positif mulai dengan kebiasaan-kebiasaan yang positif. Sebagai contoh, kita besar dalam suatu komunitas yang sangat mengagungkan nilai-nilai kepahlawanan, sehingga dalam pikiran kita sempat terlintas untuk ingin menjadi seorang pahlawan karena menjadi pahlawan dianggap baik. Otak manusia sangatlah kreatif, ketika mendapatkan stimulan bahwa menjadi pahlawan itu baik maka pikiran mulai mengkombinasikan beberapa kemungkinan yang hasil akhirnya adalah pahlawan. Untuk menjadi pahlawan dibutuhkan syarat ada sesuatu yang tidak baik atau musibah, kemudian kita berperan dalam memeperbaiki atau melawan ketidakbaikan. Ketidakbaikan itu bisa jadi bencana alam, kecelakaan, pemerkosaan dan lain sebagainya.

Benar terjadi, kemudian saya melakukan refleksi dengan peristiwa-peristiwa yang sudah berlalu dengan apa yang pernah saya pikirkan. Sepertinya memang apa yang dikatakan Michael J. Losier memang ada  benarnya. Tentu saya tidak akan menerima begitu saja, sangat tidak bisa dijelaskan misalnya keterlibatan saya sebagai koordinator tim sukarelawan di gempa Yogyakarta 2006 adalah karena saya seorang diri memikirkan dan menginginkan berperan baik dan merasa menjadi pahlawan. Buku ini tidak menjelaskan hal itu, buku ini hanya menjelaskan mengenai peristiwa yang terjadi pada orang tersebut (secara personal) disebabkan karena keinginan dan pemikiran orang tersebut.

Februari, 2010 sepulang saya dari bioskop menonton film Avatar bersama dengan Dina Lestari, saya baru mendapat titik terang akan pergumulan saya mengenai ketidakadaan pejelasan dalam hukum ketertarikan mengenai persitiwa bencana alam (gempa Yogyakarta 2006). Dalam film tersebut digambarkan mengenai upaya masyarakat pedalaman yang masih primitif dan berpegang pada nilai-nilai kultural melawan invasi manusia modern yang cerdas, lengkap dengan teknologi canggih atas dasar keuntuangan ekonomis belaka. Sudah sangat jelas bahwa masyarakat primitif dengan tombak dan panahnya tidak akan sanggup menghadapi serbuan manusia modern dengan kendaraan lapis baja dan pesawat tempurnya. Keadaan menjadi semakin genting dan sepertinya tidak ada harapan ketika sebuah pohon besar yang menjadi tempat mereka tinggal mulai digempur dengan serangan yang begitu besar. Masyarakat yang selamat akhirnya mengasingkan diri ke phon besar lainnya, sebagai benteng terakhir yang merupakan pusat energi dan leluhur mereka berada. Satu dengan yang lain terhubung secara mendalam dalam lantunan puji-pujian sakral beserta gerakan, sampai akhirnya keajaibanpun terjadi. Datanglah bala bantuan dan masayarakat primitif tersebut berhasil mengusir invasi manusia modern.

Berdasarkan film tersebut, saya mendapatkan inspirasi bahwasanya keinginan dan harapan yang secara kolektif berpadu harmonis mendatangkan kekuatan yang sangat luar biasa. Ada mekanisme timbal balik antara energi manusia dengan energi alam. Apa hubungannya film tersebut dengan peristiwa bencana alam yang terjadi disekitar kita? Alam akan merespon apapun sinyal yang dipancarkan dalam pikiran kita baik secara individu maupun kolektif. Kita yang selalu ingin berbuat baik karena ingin dianggap baik, terkadang secara tidak sadar justru mengisyarakan alam untuk merespon sesuatu yang tidak baik. Jika satu atau dua orang saja, maka tidak cukup kuat sinyal itu untuk menggerakan alam sehingga terjadi peristiwa yang kita sebut sebagai bencana alam. Lalu bagaimana jika ada cukup banyak orang dalam suatu masyarakat mempunyai pemikiran yang sama, ingin berbuat kebaikan agar dianggap baik sehingga mendapatkan tempat yang dianggap lebih baik setelah mati?

Agama, Kepercayaan dan Pikiran Kolektif

Menurut saya, agama atau kepercayaan berkontribusi sangat besar dalam menggerakan pikiran-pikiran secara kolektif dalam suatu arus pemikiran tertentu. Di beberapa desa di Jawa, masih bisa ditemui tradisi memerti desa atau merti desa, ada juga yang menggunakan istilah nyadran, selamatan, sedekah bumi. Meskipun bentuk, sejarah dan alasan diadakannya acara tersebut bisa beragam namun saya mendapati adanya suatu pola yang sama  yaitu masyarakat dengan sadar dan secara kolektif mengalokasikan segenap sumberdaya dalam suatu waktu dan tempat tertentu (seperti dalam ritual masyarakat primitif dalam film Avatar). Segenap warga masyarakat dari berbagai latar belakang melepaskan diri dari kesibukannya masing-masing, dan mau tidak mau mereka harus berinteraksi memecah kebekuan menjalin rasa persaudaraan dan kekeluargaan, bukan hanya dengan manusia tetapi juga dengan alam. Biasaya acara tersebut diadakan sebagai ucapan syukur setelah musim panen, sebagian dari hasil panen dikembalikan kepada alam dan bahkan kadang juga menanggap kesenian atau atraksi hiburan jika memungkinkan. Tentulah hal ini merupakan kebiasaan yang positif, setidaknya setelah suatu desa menyelenggarakan acara ritual tersebut anggota masyarakatnya tidak resah (berpikir positif) akan kemarahan leluhur (alam).

Saat ini beberapa kebiasaan masyarakat desa sudah mulai berkurang dan sebagian hilang, kalaupun masih ada kecenderungan sudah berganti kemasan sesuai dengan konsep dan kepercayaan yang dianggap lebih modern. Upacara seperti merti desa yang mengumpulkan hasil bumi di suatu tempat dan berdoa bersama-sama dianggap tidak baik, yang dianggap baik adalah ritual yang diadakan dalam kelompok-kelompok yang sesuai dengan kepercayaannya ditempat ibadahnya masing-masing. Upacara yang dilakukan oleh kelompok lain juga dianggap tidak baik, maka dari itu tidak akan diikuti oleh kelompok lainnya. Kalau hal itu baik tentunya juga akan dilakukan atau ditiru oleh orang lain. Anggota masyarakat yang lainnya yang masih melakukan tradisi leluhur dan tidak masuk dalam kelompok kepercayaan yang baru, oleh kelompok tersebut langsung dikaplingkan sebagai orang kejawen. Orang yang masih melakukan tradisi leluhur masyarakat Jawa.

Ada banyak penjelasan teoritis tentang kejawen, kepercayaan, bencana alam atau teori tentang peradaban namun apa arti semua itu jika tidak mendatangkan kesejahteraan bagi umat manusia. Sesuatu yang baik dan positif akan dirasakan atau diterima semua orang serta akan mendapat restu alam. Menganggap sesuatu itu baik atau tidak baik, itu sungguh tidak baik.

Mimpi dan Bencana Umat Manusia

Kembali ke buku The Law of Attraction, buku tersebut secara tersirat mengatakan apapun yang kita inginkan akan terwujud. Gagasan inilah yang banyak dipakai oleh banyak motivator, aktivis multi level marketing, trainer korporasi untuk membius dengan impian-impian yang tinggi, meningkatkan produktifitas, meningkatkan konsumsi, meningkatkan penjualan akhirnya keuntungan semakin tinggi. Lebih jauh lagi, semua indikator pertumbuhan ekonomi seperti peningkatan daya beli, peningkatan industri, oleh pihak pemerintah menganggap tersebut sebagai sesuatu yang baik dan menjadi indikator keberhasilan pemerintahan. Namun dibalik semua pewujudan keinginan dan impian-impian yang tidak terbatas tersebut masih ada yang terbatas, yaitu alam. Seiring dengan pemenuhan keinginan melalui produk-produk industri akan menguras penggunaan sumberdaya alam dan meningkatkan polusi, sehingga pada suatu titik ketika jumlah dan kondisi sumberdaya alam sudah tidak mampu memenuhi keinginan manusia maka akan terjadi penurunan kualitas dan daya hidup manusia. Dengan kata lain akan banyak penyakit karena polusi dan kelaparan serta krisis energi, tidak menutup kemungkinan adalah kematian yang sia-sia karena peperangan memperebutkan sisa sumberdaya alam yang ada. Setidaknya itu makna yang saya tangkap dalam diskusi bersama Theo Van Beuseukom yang membawakan pemikiran Dennis Meadows dalam buku The Limits to Grow, bulan Juni 2010 di Salatiga.

Dalam simulasi Theo Van Beuseukom mengenai pertumbuhan ekonomi keterkaitannya dengan keterbatasan sumberdaya alam, maka dalam 40 sampai 100 tahun ke depan akan terjadi krisis yang luar biasa jika pemerintah bersama masyarakat secara terpadu mulai mengarahkan kebijakan yang lebih bersahabat dengan alam. Tidak seperti sekarang para politisi yang cenderung mengidap rabun jauh, sehingga melakukan kebijakan yang hanya menguntungkan dalam jangka pendek saja dengan indikator pertumbuhan ekonomi, yaitu sampai pada periode pemilihan umum berikutnya. Bagi korporat, politisi yang terbiasa hidup dengan kelimpahan silahkan dinikmati dan dipuaskan karena barangkali hal itu kesempatan terakhir untuk dapat memuaskan diri. Bagi kami yang terbiasa hidup sederhana namun selalu mengucap syukur sudah terbiasa dan lebih siap ketika semuanya menjadi serba terbatas. Bagi yang beragama dan berkepercayaan apapun itu, jika semua yang anda lakukan tidak berpadu dan berpihak kepada alam maka tidak akan menyelamatkan anda. Maksudnya adalah menyelamatkan generasi manusia dari bencana alam. Arysio Santos dalam buku Athlantis the Lost Continent Finally Found, perihal sejarah peradaban dan kemusnahan manusia, tertulis hanya mereka yang berakal budi saja yang dapat selamat dan melanjutkan keturunan manusia di muka bumi. Belakangan saya mencari tahu ternyata Santos mengutip pendapat peramal yang dianggap nabi yang hidup sekitar 600 tahun sebelum masehi, dalam salah satu kitab kelompok kepercayaan tertentu.

Untunglah tidak disebutkan, hanya manusia yang beragama saja yang akan selamat dan melanjutkan keturunan di muka bumi…he…he…