Monthly Archives: May 2011

Negara, Pendidikan dan Kekerasan Berlabel Agama

S

ejumlah 49% siswa di Jakarta dan sekitarnya bersedia melakukan aksi kekerasan terkait agama dan moral. Hal ini terungkap melalui survei yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) selama periode Oktober 2010-Januari 2011. Lebih dari itu, ternyata sebanyak 28,2% guru juga bersedia untuk melakukan aksi kekerasan atas nama agama dan moral (Kartika, C. et all, 2011). Permasalahan apakah yang sesungguhnya sedang terjadi di Jakarta dan di Indonesia umumnya?

Fenomena yang terungkap dari penelitian tersebut tentunya tidak bisa dilihat sebagai suatu kebetulan belaka. Hal ini sedikit banyaknya memberikan sedikit penjelasan mengenai kekerasan berlabel agama selama dua dasawarsa terakhir. Sejauh ini lembaga pendidikan keagamaan seperti Pondok Pesantren kerap kali diakit-kaitkan dengan permasalahan kekerasan berlabel agama, hal ini  tidak sepenuhnya bebar. Patut dipertimbangkan kembali mengingat survei yang dilakukan LaKIP hanya dilakukan di sekolah negeri dan swasta non keagamaan. Jika demikian adakah yang salah dengan pendidikan kita?

Negara menjamin dan mengatur penyelenggaran pendidikan untuk warga negaranya. Hal ini seperti diamanatkan pembukaan UUD 1945 dan Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang  sistem pendidikan nasional, serta produk perundangan turunannya. Temuan dari LaKIP tersebut tidak bisa dianggap sebagai suatu realitas sosial belaka, namun pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan harus introspeksi dan berbenah diri menyikapi temuan itu.

Negara dan Tindak Kekerasan

Negara harus bertanggungjawab terhadap segala bentuk kerusuhan berlabel agama. Pembentukan Detasemen khusus anti terorisme (Densus 88) dan pasukan sejenisnya serta Undang-undang tindak pidana terorisme dinilai merupakan aksi reaksioner. Tidak salah memang apa yang ditempuh pemerintah dengan jalan tersebut, namun upaya yang demikian tidak akan menyelesaikan persoalan sampai ke akarnya.

Aksi terorisme nampaknya sengaja dibiarkan oleh pemerintah untuk tetap ada, karena dengan demikian istrumen penegak hukum dalam hal ini ABRI dan POLRI akan tetap dibutuhkan. Masih teringat jelas dalam ingatan bagaimana reaksi militer dan POLRI pada peritiwa kerusuhan Mei 1998. Terlihat jelas bagaimana sudut padang negara (ABRI dan POLRI) terhadap mahasiswa yang dianggap sebagai pengacau keamanan. Unjuk rasa damai mahasiswa justru dihadang dengan barikade militer dengan tembakan water cannon, bom asap, peluru karet dan bahkan peluru tajam hingga akhirnya menyebabkan korban jiwa di kalangan mahasiswa.

ABRI dan POLRI justru terlihat gamang menyikapi aksi kekerasan berlabel agama, sebagai contoh aksi pembakaran rumah ibadah di Temanggung pada 10 Februari 2011. Sangat ironis sekali ketika insiden tersebut terjadi tidak jauh dari kompleks kepolisian. Kepolisian dan Militer dinilai gagal dalam mengantisipasi insiden tersebut. Terlalu panjang daftar kejadian kekerasan berlabel agama dimana Kepolisian dan Militer terlambat menangani dan seolah-olah tidak mampu berbuat apa-apa, seperti halnya yang terjadi saat insiden Cikeusik pada 9 Februari 2011.

Pasca kerusuhan Mei 1998, ABRI dan POLRI memang sepertinya kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Serangkaian upaya untuk memulihkan citra penegak hukum tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Belum lagi citra itu pulih, aparat Kepolisian sempat tercoreng lagi dengan temuan KPK (Komisi pemberantasan Korupsi) tentang rekening gendut sejumlah petinggi POLRI. Jika menggunakan hukum sebab akibat menjadi masuk akal jika tindak kekerasan berlabel agama ataupun aksi terorisme ‘perlu’ ada, karena dengan demikian memungkinkan bagi aparat penegak hukum (ABRI dan POLRI) untuk melakukan aksi heroiknya.

Tanpa mensyaratkan adanya aksi terorisme dan serangkaian tindak kekerasan berlabel agama, sudah sepatutnya berbenah diri dan selalu siaga. Kegagalan ABRI dan POLRI dalam mengantisipasi aksi terorisme dan serangkaian tindak kekerasan berlabel agama tidak urung hanya akan mengurangi kepercayaan masayarakat, dan justru menjadi alasan terbentuknya kelompok-kelompok pengamanan sipil.

Kelompok-kelompok pengamanan sipil cukup terlatih dan terorganisir. Terlepas ada atau tidaknya keterkaitan untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, keberadaan kelompok tersebut perlu diwaspadai. Barangkali awalnya kelompok tersebut hanya untuk pengamanan lokal dan terbatas pada lingkungan tertentu, namun siapa tahu akan disusupi dengan doktrin-doktrin sektarian. Jika sudah demikian maka tidak akan terlampau susah untuk melakukan mobilisasi kelompok sipil terlatih tersebut ke daerah lain untuk tujuan tertentu. Sebagai contoh adalah yang terjadi pada kerusuhan di Temanggung dan Insiden Cikeusik.

Kelompok sipil terlatih tersebut mampu untuk memicu dan dengan cepat akan mendapatkan dukungan dari masyarakat hanya dengan melontarkan isu tentang keagamaan dan moral. Masyarakat yang meskipun tidak terlatih dapat segera ambil bagian dalam aksi kekerasan berlabel agama karena memang sudah mengganggap hal itu bagian dari tugas agama.

Keadaan masyarakat yang menerima tindak kekerasan berlabel agama terutama dalam masyarakat terdidik seperti hasil temuan LaKIP sungguh sangat memprihatinkan. Jika dunia pendidikan saja sudah mengiyakan kekerasan berlabel agama bagaimana jadinya negeri ini? Bagaimanakah tanggungjawab pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sekaligus memberi rasa aman dan damai pada setiap warga negaranya?

Pendidikan dan Kekerasan Berlabel Agama

Lebih jauh mengkaji tentang kekerasan berlabel agama semestinya sedini mungkin dimulai dari dunia pendidikan. Masuknya pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan dalam setiap jenjang pendidikan menjadi suatu ironi besar dengan kenyataan yang ada. Menurut Bambang Pranowo, direktur LaKIP, pengajaran pendidikan agama yang hanya 2 jam dan dilaksanakan secara eklusif dalam tiap strata pendidikan dinilai sebagai  awal gagalnya pendidikan agama, karena siswa akan mencari jawaban persoalan moral dari luar sekolah. Menurut saya pendapat ini tidak sepenuhnya dapat diterima. Penambahan jam pendidikan agama tidak akan serta-merta menjawab permasalahan ini, meski dikombinasikan dengan pelaksanaanya yang inklusif.

Masuknya pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan formal justru menempatkan pengajaran tentang moralitas dan keberagaman masuk pada wilayah formalitas saja. Sejauh dapat menghafalkan dan menjawab pertanyaan sesuai dengan yang dikehendaki oleh guru, maka sudah dianggap baik. Terlepas dengan perilaku keseharian siswa, tidak ada pengaruhnya jika nilai mata pelajaran tersebut bagus. Nilai-nilai luhur tentang kehidupan yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari hanya berakhir di buku laporan pendidikan saja.

Penanganan pendidikan keagamaan oleh departemen agama sesungguhnya merupakan suatu bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan bagi warganya. Jika memang menghendaki terbentuknya akhlak yang mulia dan moralitas yang baik dalam bentuk mata pelajaran apapun itu sudah semestinya menjadi tangungjawab departemen pendidikan, bukan departemen agama. Berpindahnya tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan agama dari departemen agama ke departemen pendidikan juga tidak akan serta merta menyelesaikan permasalahan kekerasan berlabel agama. Sejauh mata pelajaran agama menjadi mata pelajaran yang tersendiri dan diformalkan maka tetap akan bermasalah, karena hanya akan menjadi pelajaran hafalan saja. Penambahan jam pendidikan agama malah justru akan memperburuk keadaan.

Pelaksanaan pendidikan agama yang eksklusif memang patut menjadi sorotan. Eksklusifitas tersebut dapat menyebabkan jarak dan prasangka antar pemeluk agama. Prasangka dan jarak antar pemeluk agama ini menjadi awal dari serangkaian aksi kekerasan berlabel agama. Sekali lagi negara harus bertanggungjawab dalam hal ini, karena telah menyelenggarakan pendidikan keagamaan yang eksklusif.

Ketika pengajaran tentang akhlak dan moral masih dirasa penting, tidak berati bahwa pendidikan agama tetap harus ada. Pengajaran tentang akhlak dan moral dapat terintegrasi dalam tindakan nyata melalui serangkaian aktifitas selama siswa melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah, tidak dalam mata pelajaran tersendiri. Kalaupun tetap memaksakan diri adanya mata pelajaran tersendiri maka sangatlah tidak tepat jika menggunakan judul mata pelajaran agama. Alternatif yang cukup baik adalah pendidikan pluralisme, tentunya lebih mengedepankan aspek afektif daripada kognitif.

Konsekuensi lebih jauh dalam pendidikan pluralisme adalah pembubaran sekolah tinggi ataupun program studi pendidikan agama. Program studi pendidikan agama akan berubah menjadi pendidikan pluralisme. Seperti telah disinggung sebelumnya, terkait dengan pendidikan keagamaan pemerintah harus melepaskan pendidikan keagamaan dari departemen agama ke departemen pendidikan. Dengan demikian pemerintah melalui departemen pendidikan wajib mengadakan sekolah calon guru pendidikan pluralisme.

Penyelenggaraan program studi atau sekolah calon guru pendidikan pluralisme tersebut tidak ekslusif dalam instansi pendidikan keagamaan tertentu. Situasi yang ideal adalah dalam bentuk Sekolah Tinggi pendidikan pluralisme. Mahasiswa dalam sekolah tinggi tersebut berasal dari berbagai agama, akan lebih baik lagi dalam sistem asrama. Ketika daya dukung sekolah tinggi pendidikan pluralisme tersebut tidak memenuhi maka perguruan tinggi swasta juga dapan menyelenggarakan program studi pendidikan pluralisme. Menjadi catatan bahwa heterogenitas mahasiswa menjadi syarat dalam pelaksanaan program studi ini, terlebih pada sekolah swata yang berlabel agama.

Kurikulum dalam program studi pendidikan pluralisme lebih menekankan upaya untuk mengalami secara mendalam hidup dalam suasana keberagaman. Membangkitkan semangat solidaritas sosial serta kesadaran untuk menjaga ketertiban dan hidup dalam perdamaian. Sekali lagi ditekankan bukan hanya pada aspek kognitif namun afeksi.

Efektifitas Pendidikan (Agama)

Tidak bisa dipungkiri perkembangan peradaban manusia digerakkan oleh pesatnya kemajuan ilmu penghetahuan. Salah satu proses yang diyakini dan terbukti menentukan kemajuan ilmu pengetahuan adalah melalui pendidikan. Dengan kata lain pendidikan menjadi syarat berkembangnya peradaban, menjadi pertanyaan selanjutnya adalah pendidikan yang bagaimana atau yang seperti apa? Di sisi lain perlu dikritisi lebih lanjut peran agama dalam membangun peradaban, terkhusus peran pendidikan agama.

Menengok keberadaan Sedulur Sikep di Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah menjadi bahan refleksi atas peran pendidikan khususnya pendidikan agama. Komunitas masyarakat sedulur sikep tidak mengenal pendidikan formal. Hal ini dirasa tidak perlu karena mereka hanya mengenal profesi petani sebagai mata pencaharian mereka. Meskipun tidak mengenal pendidikan formal bukan berarti mereka tidak belajar, mereka secara mandiri mempelajari berbagai hal sesuai dengan kebutuhan mereka. Terkait dengan pendidikan agama, Sedulur Sikep tidak mengikuti ajaran agama besar di Indonesia. Kalaupun ditanya mengenai agama, mereka akan menjawab agama Adam. Mereka lebih menekankan pada tindak tanduk dan perilaku. Salah satu laku yang diajarkan turun temurun adalah penolakan terhadap segala bentuk kekerasan.  Terbukti lebih dari satu abad keberadaan Sedulur Sikep tetaplah eksis, bukan hanya masalah jumlahnya namun kemampuan mereka untuk menjaga keselarasan hidup dengan sesama dan  lingkungan (Samiyono, D. 2010).

Komunitas Sedulur Sikep menekankan adanya kemandirian dalam berbagai hal, termasuk dalam pendidikan. Seorang laki laki dan perempuan yang mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan berarti telah siap untuk mendidik anak-anaknya secara mandiri. Proses pendidikan menjadi tangggungjawab keluarga masing-masing, dilakukan dengan tanpa paksaan, disesuaikan dengan paksaan dan realitas yang ada.

Tanpa bermaksud untuk menolak pendidikan formal seperti halnya pada komunitas Sedulur Sikep, menjadi bahan perenungan bagi kita akan fungsi pendidikan. Penyelenggaraan pemerintahan yang ditopang dengan pendidikan modern tidak urung justru mempercepat laju eksploitasi sumber daya alam juga sendi-sendi kehidupan. Telah terjadi banyak sekali kasus persengketaan pemerintah yang didukung ABRI dan POLRI berhadapan dengan masyarakat adat. Sebagai contoh adalah penolakan masyarakat adat di Komunitas Sedulur Sikep di Sukolilo terhadap pendirian pabrik semen oleh PT Semen Gresik dan PT Indocement . Apakah pendidikan dan modernisasi sistem pemerintahan justru menimbulkan konflik kekerasan dan mengorbankan kelompok minoritas?

Tatanan kehidupan yang tertib dan damai tercapai dalam komunitas sedulur sikep tanpa harus mengikuti agama-agama besar. Dengan demikian apakah masih perlu pendidikan agama di setiap jenjang pendidikan? Suatu ironi yang tragis, ketika sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan agama justru mengafirmasi tindak kekerasan.

Ketidakmampuan pendidikan agama dan agama untuk membentuk manusia berakhlak mulia tidak menjadi alasan begitu saja mengganti Pancasila sebagai ideologi.  Sungguh suatu cara pandang yang terbalik ketika agama mengafirmasi tindak kekerasan berlabel agama justru akan digunakan sebagai ideologi negara pengganti Pancasila.

Kesimpulan

Pendidikan agama sebagai mata pelajaran dalam pendidikan formal tidak perlu. Pendidikan moral dan akhlak dikembalikan ke keluarga masing-masing untuk berperan lebih besar. Sebagai pengganti pendidikan agama adalah pendidikan pluralisme. Konsekuensi dari pelaksanaan pendidikan pluralisme adalah ditariknya keterlibatan Departemen Agama dalam pelaksanaan pendidikan formal. Penyelenggaraan pendidikan formal dilakukan oleh Departemen Pendidikan.

Oleh Departemen Pendidikan, Sekolah Tinggi Pendidikan Agama dan Program Studi Pendidikan Agama dibubarkan atau dirubah menjadi Sekolah Tinggi Pendidikan Pluralisme. Secara khusus Departemen Pendidikan dapat membuat  Sekolah Tinggi Pendidikan Pluralisme yang terintegrasi dengan asrama, dimana para mahasiswanya berasal dari berbagai pemeluk agama.

Terkait tindak kekerasan berlabel agama, negara melalui ABRI dan POLRI haruslah lebih sigap untuk mengantisipasi terulangnya kejadian ini. Kelambanan penanganan oleh ABRI dan POLRI hanya akan menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum dan penjaminan keselamatan di negeri ini. Akumulasi ketidak percayaan masayarakat tersebut menjadi alasan terbentuknya kelompok pengamanan masayarakat swakarsa. Keberadaan kelompok pengamanan tersebut dapat memicu aksi main hakim sendiri, termasuk di dalamnya tidak kekerasan berlabel agama.

Negara harus meninjau ulang produk perundang-undangan terkait pendidikan terutama pendidikan keagamaan. Lebih jauh negara hendaknya lebih seksama untuk mengawasi pengajaran agama-agama, terutama kelompok-kelompok yang menyetujui tindak kekerasan berlabel agama. Wacana penggantian pancasila sebagai ideologi negara oleh kelompok keagamaan tentunya harus disikapi lebih serius, bukan hanya pada upaya pemberantasannya saja namun juga perbaikan dan profesionalitas kinerja lembaga negara.

Referensi

Hindra, L. and Inggried, 2011. Kronologi Insiden Cikeusik Versi POLRI. Kompas. Accessed 10 May 2011. http://nasional.kompas.com/read/2011/02/09/20594513/Kronologi.Insiden.Cikeusik.Versi.Polri

Kartika, C. et all, 2011. Separuh Pelajar Setuju Aksi Radikal Berlabel Agama. Tempo Interaktif. Accessed 10 May 2011. http://www.tempointeraktif.com/hg/fokus/2011/04/26/fks,20110426-1855,id.html

Rofiudin, 2011.Warga Kampanyekan Stop Penambangan di Kendeng. Koran Tempo. Accessed 10 May 2011. http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/01/03/Berita_Utama-Jateng/krn.20110103.222710.id.html

Rukmorini, R. et all, 2011. Tiga Gereja Dirusak Massa. Kompas. Accessed 10 May 2011. http://regional.kompas.com/read/2011/02/08/1224150/Tiga.Gereja.Dirusak.Massa

Samiyono, D. 2010. Sedulur Sikep :Struktur Sosial dan Agama Masyarakat Samin di Sukalila. Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Semanggi Peduli, 2003. Tragedi Semanggi. Accessed 10 May 2011. http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/semanggi.html

__________________. Kerusuhan Mei 1998. Accessed 10 May 2011. http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/kerusuhan.html

Wardhani, A.K, 2010. Rekening Gendut Petinggi Polri Turunkan Semangat Polisi Junior. Tribunnews. Accessed 10 May 2011. http://www.tribunnews.com/2010/07/01/rekening-gendut-petinggi-polri-turunkan-semangat-polisi-junior

Menakar Kualitas Pemimpin

P

emimpin, bukan hanya tentang jabatan. Jabatan bagi Seseorang yang berjiwa pemimpin memungkinkan yang bersangkutan untuk memberikan kontribusi lebih terkait dengan tujuan personal ataupun tujuan organisasinya. Tanpa suatu jabatan tidak menjadi alasan bagi seorang pemimpin untuk tetap memberikan kontribusi dan merealisasikan tujuannya. Kualitas seorang pemimpin bukan hanya berbicara mengenai program atau kebijakan yang dihasilkannya selama menjabat, namun juga tentang sikap pejabat terhadap lawan politiknya.

Ketika menggunakan indikator program dan kebijakan saja, pada akhir periode dapat menghasilkan laporan yang bisa dianggap gemilang dengan capaian-capaiannya. Jika sudah demikian apakah seorang pejabat sudah dikatakan berhasil dalam memimpin?

Sikap Pejabat terhadap Pihak yang Pro dan Kontra

Tidak salah memang menggunakan program dan kebijakan sebagai tolok ukur kualitas seorang pemimpin, namun hal inilah yang mendorong seorang pemimpin untuk mebuat program dan kebijakan yang sensasional. Obsesi untuk mewujudkan program dan kebijakan yang sensasional dengan segera tersebut, tidak jarang mendapat respon berlawanan dari berbagai pihak. Alhasil situasi ini akan memecah anggota menjadi pihak yang pro dan pihak yang kontra. Kualitas seorang pemimpin akan terlihat dalam situasi yang demikian, terutama sikap pemipin terhadap pihak yang kontra.

Pemimpin yang berkualitas justru akan merangkul pihak-pihak yang kontra. Sebaliknya pemimpin yang kurang berkualitas hanya fokus pada pihak-pihak yang mendukung saja. Terhadap pihak yang kontra, fenomena yang biasa terjadi dalam dunia pemerintahan atau lembaga profesional adalah adanya mutasi pegawai atas orang-orang yang dianggap sebagai lawan politik. Fenomena mutasi tersebut tidak serta merta menyingkirkan pihak-pihak yang kontra melainkan dapat juga sedang mengamankan posisi-posisi strategis. Apakah mutasi beberapa pegawai di lingkungan kampus UKSW pada periode 2010 merupakan mutasi rutin ataukah ada kepentingan lain?

Pada lembaga non profesional, kualitas seorang pemimpin terlihat dari banyak sedikitnya dukungan berdasarkan atas kesadaran dari berbagai pihak, baik dari luar ataupun internal organisasi. Minimnya dukungan dari pihak luar menunjukkan lemahnya kualitas pemimpin, terlebih lagi jika sampai ditinggalkan anggotanya. Dengan kata lain seorang pemimpin harus introspeksi diri, jika terdapat banyak anggotannya yang mengundurkan diri. Apakah pengunduran diri beberapa fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan Univrsitas periode 2010 merupakan suatu kebetulan?

Selama pemimpin menjabat, fokus kebijakan pemimpin yang berkualitas merata ke berbagai kelompok baik yang pro maupun kontra berdasarkan tujuan organisasi, sementara itu kualitas pemimpin yang rendah hanya akan berfokus pada kelompok-kelompok pendukungnya. Sepintas nampak tidak ada bedanya sikap pemimpin atas program dari kelompok pro maupun kontra, namun jika diamati secara seksama akan terlihat dari berbagai prosedur yang di-by pass. Kelompok yang kontra akan diperhadapkan dengan serangkaian aturan standar bahkan kalau perlu akan ditambahkan berbagai peraturan tambahan. Slogan yang biasa muncul dalam kondisi ini adalah “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?”. Kelompok yang pro akan mendapat manfaat dengan berbagai kemudahan terkait birokrasi, dengan kata lain birokrasi tersebut di-by pass.

Pertengahan 2010 sampai awal 2011 masih terdengar isu gagalnya calon pembicara menjadi pembicara di berbagai pelatihan yang diselenggarakan Lembaga Kemahasiswaan. Kegagalan ini mungkin masih bisa dimaklumi jika hanya ada satu atau dua calon pembicara saja, namun jika sudah lebih patut dipertanyakan ada apa dibalik semua ini? Siapa yang menggagalkan hal ini apakah dari pihak Lembaga Kemahasiswaan atau pemimpin Universitas? tidak jelas. Jika diamati dengan seksama calon pembicara yang gagal menjadi pembicara sudah dapat dipastikan bukan merupakan pihak yang pro dengan penguasa.

Contoh lain lagi adalah isu mengenai tersendatnya pembangunan gedung Fakultas Ekonomi, perlu dikaji lebih jauh. Apakah hal ini terjadi karena fokus pemimpin Universitas lebih kepada rencana pembangunan kampus 3 UKSW di Blotongan, atau memang ada permasalahan lain? Berandai-andai, jika rencana pembangunan kampus 3 terwujud, menjadi pertanyaan selanjutnya adalah program studi apa saja yang akan menempati bangunan baru tersebut? Pemimpin yang berkualitas tentunya tidak asal dalam menempatkan program studi di kampus baru tersebut. Akan sangat naif sekali jika dengan adanya kampus 3 seolah-olah membagi secara rigid pihak yang pro dengan yang kontra. Kualitas seorang pemimpin akan teruji dalam hal ini, itupun kalau kampus 3 benar-benar terwujud.

Terlepas jadi atau tidaknya pembangunan kampus 3, penggabungan beberapa program studi di UKSW menarik untuk diamati. Kebijakan tersebut dinilai dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi birokrasi, hal ini patut mendapatkan apresiasi. Capaian ini merupakan nilai plus tersendiri sebagai suatu langkah startegis seorang pemimpin, terlepas adanya isu miring tentang pengelompokkan program studi yang ‘basah dan kering’.

Mengusung Perubahan

Hampir sebagian besar pemimpin akan mengusung isu perubahan, hanya sebagian kecil saja yang dengan besar hati melanjutkan kebijakan dan program dari pemimpin periode sebelumnya. Hal ini tidak berlaku mutlak jika pemimpinnya merupakan incumbent, karena pasti akan mengusung gagasan untuk melanjutkan kebijakan yang telah dilaluinya. Berdasarkan gagasannya apakah pro perubahan atau melanjutkan kebijakan, tidak serta merta dapat digunakan untuk menilai kualitas seorang pemimpin. Keduanya sama-sama berpeluang untuk menambahkan poin sebagai pemipin yang berkualitas. Menjadi penentu atas keduanya adalah bagaimana seorang pemimpin menurunkan gasasannya tersebut dalam tindakan nyata?

Kualitas seorang pemimpin terlihat dari kebesaran hatinya yang meskipun gagasan perubahan tersebut itu dari dirinya bisa ditularkan seolah-olah gagasan tersebut berasal dari anggota dan menjadi agenda bersama. Bukan hanya bicara tentang cepatnya waktu untuk menelurkan gagasan, namun pemimpin yang berkualitas tidak akan tergesa-gesa untuk segera berhasil dengan gagasan perubahannya itu. Polimik sistem pendidikan di UKSW yang menggunakan sistem dwi-mester atau tri-mester manjadi contoh yang menarik untuk melakukan refleksi terkait kualitas kepemimpinan seorang pemimpin.

Masa Transisi

Menjelang akhir periode, merupakan ujian terberat bagi seorang pemimpin yang menjadi pejabat. Pertanyaan terberat bukan hanya soal siapa yang akan menggantikan kedudukannya, tapi bagaimana kualitas orang yang akan menggantikan kedudukannya? Pejabat yang hendak lengser, mempunyai tanggungjawab untuk menyiapkan generasi penerusnya yang berkualitas, tanpa harus membatasi setiap orang untuk menduduki jabatan tersebut. Akan lebih baik jika seorang pejabat mampu untuk menyiapkan iklim yang kondusif bagi pejabat berikutnya, bukan meninggalkan banyak masalah.

Kualitas seorang pemimpin terbentuk melalui proses yang merupakan resultan antara hambatan dan tantangan. Dalam hal ini calon pemimpin yang akan menggantikan, hendaknya mempunyai pengalaman yang cukup dengan lingkungan baru yang hendak dipimpinnya. Atas dasar ini pula, capaian pemimpin yang meniti karir dari bawah bisa lebih berhasil daripada pendatang baru, dengan asumsi kapabilitas pemimpin tersebut sama. Selama masa transisi, untuk mengakselerasi penyesuaian terhadap lingkungan kerja yang baru biasanya dilakukan dengan magang. Terlepas pemimpin tersebut merupakan orang lama atau pendatang baru, akan sangat baik sekali jika bersedia melakukan magang. Bukan sekedar basa-basi, namun hal ini menunjukkan kebesaran hati seorang pemimpin.

Epilog

Kebijakan ataupun program yang dilakukan selama pemimpin menjabat bukan mengenai benar atau salah. Kualitas seorang pemimpin melampaui nilai kebenaran, juga terkandung nilai-nilai yang luhur, mulia dan kebesaran hati. Kualitas tersebut tercermin dari sikapnya terhadap berbagai pihak terutama pihak-pihak yang dianggap kontra.