Identitas Manusia (Jawa)

Makna yang melekat pada kata jawa mengandung tiga unsur yaitu gemati, ngerti dan wigati. Lebih lanjut, gemati dapat diartikan sebagai perhatian atau menjaga dan merawat dengan baik, sedangkan ngerti diartikan sebagai pengertian dan mengetahui hal-hal yang terbaik, selanjutnya wigati berarti penting atau memberikan sesuatu dengan sepenuhnya. Dengan kata lain, jawa berarti manusia yang memiliki perhatian sepenuhnya terhadap segala hal, mengerti cara dan mau melakukan sesuatu untuk menjaga, merawat dengan baik agar mendapatkan hasil yang terbaik bagi kelestarian komunitasnya


Identitas yang Hilang

B

ermula ketika berdiskusi dengan Slamet Widjaja salah seorang budayawan Lasem, beberapa kali terlontar “wong jawa ilang jawane” jika diterjemahkan bebas menjadi orang jawa yang kehilangan (identitas) kejawaanya. Sesungguhnya apa yang hilang dari orang jawa[1]? Jika yang hilang itu adalah identitas, maka seperti apakah identitas manusia jawa? Jika pertanyaan itu diajukan kepada sebagian orang di jaman sekarang akan akan dijawab dengan mudah bahwa manusia jawa adalah orang yang lahir, besar dan menggunakan bahasa jawa dari keluarga jawa.

Slamet Widjaja

Sebelum kita berspekulasi mengenai manusia jawa itu seperti apa, ada hal yang menarik bahwa kata jawa yang merupakan kata benda dapat berubah menjadi kata sifat menjadi njawani. Hal ini semakin membuat saya penasaran, sekaligus mendapatkan petunjuk mengenai identitas masyarakat jawa lebih kepada sifat komunal masyarakat jawa, bukan sebatas sifat yang sangat personal, bukan pula mengenai tata busana atau tata bahasa saja. Ciri khas dari komunitas manusia jawa tersebut juga terekspresi dalam perseorangan yang menjadi anggota komunitas, yang proses internalisasinya melalui kesadaran dan kerelaan dan bukan doktriner.

Dugaan saya tersebut semakin diperkuat setelah saya mendapatkan salinan buku “Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung”. Buku tersebut ditulis oleh Mbah Guru atau nama Aslinya adalah Hadi Darsono atau nama kecilnya adalah Takrip, yang mulai ditulis sejak tahun 1931 berdasarkan cerita dari leluhur masyarakat Kanung serta beberapa catatan kecil. Dalam buku tersebut menceritakan awal mula peradaban manusia di tanah Jawa sejak periode 230 tahun SM sampai 1527, sungguh suatu rentang waktu yang cukup lebar jika dibandingkan dengan ketebalan buku yang hanya sekitar 50 lembar saja. Konsekuensinya adalah beberapa peristiwa sejarah dilewati atau dikupas singkat dan langsung melompat cukup jauh sampai ada peristiwa sejarah yang besar.

Koloni awal manusia jawa yang diceritakan Mbah Guru merupakan manusia pendatang dari Sampit, jika ditelusur ke belakang maka nenek moyang mereka berasal dari bangsa Chauw yang bermukim di hulu sungai Yang Tse (China) yang melakukan migrasi ke selatan sampai ke pegunungan Yunan, Hainan (taiwan) kemudian menusuri kamboja hingga ke Kalimantan. Koloni pendatang yang menetap di Nusa Kendeng[2] kemudian menamakan diri sebagai orang jawa, tanah mereka disebut sebagai tanah jawi. Mereka meggunakan nama jawa yang berasal dari kata jawi (banteng betina) yang sangat perhatian menjaga anak-anaknya ketika di malam hari mereka tidur bergerombol beradu punggung membentuk lingkaran dengan anak-naknya berada ditengah. Sementara itu beberapa banteng lainnya tetap siaga berkeliling diantara kawanan banteng tersebut untuk berjaga dari serangat binatang buas.

Secara sederhana makna yang melekat pada kata jawa mengandung tiga unsur yaitu gemati, ngerti dan wigati. Lebih lanjut, gemati dapat diartikan sebagai perhatian atau menjaga dan merawat dengan baik, sedangkan ngerti diartikan sebagai pengertian dan mengetahui hal-hal yang terbaik, selanjutnya wigati berarti penting atau memberikan sesuatu dengan sepenuhnya. Dengan kata lain, jawa berarti manusia yang memiliki perhatian sepenuhnya terhadap segala hal, mengerti cara dan mau melakukan sesuatu untuk menjaga, merawat dengan baik agar mendapatkan hasil yang terbaik bagi kelestarian komunitasnya. Berdasarkan pemaknaan tersebut di atas, maka masyaratakat Jawa tidak perlu besar kepala karena seiring dengan berkembangnya jaman semakin banyak masyarakat Jawa kehilangan identitasnya. Di lain pihak ada sebagian juga orang-orang yang bukan merupakan suku Jawa justru lebih njawani dari orang Jawa itu sendiri.

Manusia jawa memandang perubahan dan paham-paham baru

Peta Jawa Dwipa

Label jawa selanjutnya menjadi sangat dinamis dan terbuka, dan tidak terpaku hanya pada garis keturunan darah, adat, busana dan bahasa saja tetapi mengenai pencintraan personal dengan karakter tertentu sebagai bagian dari komunitas. Nilai-nilai yang disemaikan oleh manusia jawa pada mulanya dapat kembali ditebalkan dalam masyarakat Jawa saat ini, mengingat semakin derasnya informasi dan paham-paham yang masuk dari luar telah banyak merubah dan menggilas identitas manusia jawa. Sebagai contoh adalahnya masuknya paham demokrasi dan sistem pemerintahan modern, mengkondisikan masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam pemilihan wakil-wakil mereka yang ternyata dalam prosesnya justru menyebabkan keretakan di dalam masyarakat yang terbungkus dalam partai-partai politik yang hanya berorientasi kekuasaan dan kepentingan sesaat. Belum lagi praktek-praktik kecurangan dengan politik uang sudah dianggap lumrah, justru jika ada orang jujur hendak mencalonkan diri maka dianggap aneh dan sudah barang tentu tidak akan mendapatkan dukungan suara. Apakah harus saya contohkan mengenai pengaruh agama terkait dengan pudarnya identitas manusia jawa? Saya rasa tidak perlu, karena contohnya akan sangat banyak dan pasti hanya berisi tentang persitiwa-peristiwa yang sangat memalukan untuk disebut sebagai manusia dan hanya  akan menyebabkan kekecewaan, prasangka prasangka buruk terhadap pihak lain.

Dalam usahanya menjaga kelestarian komunitas manusia jawa dilakukan dengan nasehat non doktriner, tidak ada yang harus, yang ada adalah sebaiknya dan seyogyanya. Umumnya hal ini dilakukan oleh generasi tua kepada generasi muda, tanpa bermaksud untuk mengekang kebebasan generasi muda dalam berekspresi dan berkatualisasi diri. Hal ini terangkum dalam pepatah ngono yo ngono tapi aja ngono, jika diartikan secara bebas menjadi jika mau berbuat sesuatu ya silahkan saja asal tidak keterlaluan. Demikian juga ketika paham-paham keagamaan masuk, manusia jawi tidak akan terang-terangan menolak dan akan diterima dengan baik hidup berdampingan atau urip bebrayan. Paham tersebut dipersilahkan masuk dan ikut mewarnai kehupan masyarakat, sejauh itu tetap memegang identitas manusia jawa, seperti pepatah yang mengatakan kalau agama merupakan ageman yang berarti pakaian. Pakaian dapat berganti-ganti sesuai jaman, namun identitas manusia jawa tetap dipegang secara teguh.

Kelestarian manusia jawa

Dimensi lain dalam usaha manusia jawa dalam melestarikan komunitasnya tidak terpaku pada hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga terwujud dalam hubungan manusia dengan alam yang skaligus juga manifestasi dan pembadanan dalam bergumul dengan SANG URIP, atau SANG HIDUP. Siapa namanya dan bagaimana betuknya, berapa jumlahnya tidak diungkapkan mereka hanya tau SANG URIP itu ada hanya bisa dimengerti jika dilakukan. Seperti pepatah ngelmu iku tinemune kanthi laku, atau dapat diartikan bahwa pengetahuan hanya bisa dimengerti dengan menjalankan. Perolehan pengetahuan dalam menjalani hal itu meskipun nyaris tidak dapat diperdebatkan namun anehnya ada kecenderungan untuk bergerak dalam satu arus bersama secara harmonis. Sebagai contoh, penekanan pada dimensi tidakan atau perilaku lebih terlihat nyata dari pada konsep-konsep agama modern yang dapat diperdebatakan. Tentang bentuk, jumlah dan nama Tuhan misalnya justru menyebabkan perbedaan-perbedaan yang akhirnya merugikan bagi kelestarian manusia. Jika hanya untuk kebaikan dan agar manusia bisa berbuat baik tentunya tidak diperlukan agama, hal ini terbukti ketika sebelum agama-agama modern masuk apakah tidak ada manusia yang bisa berbuat baik? Apakah masyarakat sungguh-sungguh tidak baik?

Oleh karena alasan-alasan yang diangap baik itu, maka sekonyong-konyang manusia harus beragama, terutama di Indonesia sebagai ciri dari komunitas yang bernama Indonesia. Sekali lagi karena alasany yang dibangun kurang mendasar, dan menekankan doktrinasi sehingga nalar dan rasa manusia itu tumpul, hanya ikut-ikutan saja apalagi itu menurut tokoh agama. Memilih untuk berseteru dengan sesama manusia demi sesuatu yang sangat abstrak, yaitu agama. Akhir yang tidak jelas, tujuan yang kabur, nalar dan rasa yang tumpul itulah beberapa konsekuensi dari euforia agamis.

Kesadaran mengenai keberlangsungan manusia tergantung dari topangan sang ibu yaitu alam, manusia jawa sangat memperhatikan dan menjaga keberadaan mata air. Hal ini sejalan dengan lahirnya manusia jawa, yaitu sesaat sebelum koloni pendatang dari Sampit tersebut menamakan diri sebagai manusia jawa mereka terlebih dahulu bersimpuh dihadapan ibu bumi dan memeluk langit, berucap syukur baru kemudian membuat pemukiman di dekat mata air. Di kemudian hari nama tetua koloni tersebut yaitu Kie Seng Dang digunakan sebagai nama lain dari mata air yaitu sendang. Apakah manusia jawa memelihara mata air tersebut hanya karena membutuhkan airnya? Saya rasa tidak, perhatian dan tindakan mereka yang dengan sepenuh hati tersebut merupakan wujud bakti kepada ibu alam yang bersetubuh dengan bapa langit, menghasilkan anugerah yaitu mata air.

Setidaknya ada tiga poros yang sangat penting terkait dengan kelestarian manusia jawa yaitu manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan SANG URIP. Bagaimana bisa mengerti akan hal ini, jalani saja, terbuka dan dinamis maka perlahan SANG URIP akan menyatakannya juga lewat ibu alam. Bakti manusia jawa terhadap bapak dan ibu merupakan personifikasi bakti kepada SANG URIP dan ibu bumi, dengan demikian kita dapat lebih luas simbol lingga yoni bukan hanya sebtas simbol alat kelamin laki-laki dan perempuan.


[1] Kata jawa dengan huruf kecil semua merujuk pada waktu pulau jawa masih terdiri atas beberapa pulau untuk membedakan dengan kata Jawa yang menggunakan huruf besar semua merupakan pulau Jawa modern seperti saat ini.

[2] Salah satu pulau yang di kemudian hari bergabung dengan pulau lainnya menjadi pulau Jawa modern, saat ini merupakan bagian dari wilayah kabupaten Rembang, sedikit bagian termasuk wilayah Kabupaten Blora.

About Slamet Haryono

Hak cipta dilindungi oleh YANG MAHA PENCIPTA. Silahkan dibaca, mengutip sebagian atau keseluruhan dari setiap tulisan dalam blog ini untuk tujuan non komersial wajib menyertakan sumber dan nama penulis secara lengkap, serta digunakan dengan penuh tanggungjawab. Sedangkan untuk tujuan komersial silahkan hubungi saya melalui slamethdotkom@yahoo.com

Posted on August 21, 2010, in Javalosophy and tagged , , , , . Bookmark the permalink. 2 Comments.

Leave a comment