Monthly Archives: October 2015

KEBAKARAN JENGGOT : Analisa dan Resolusi Seputar Kabut Asap

http://www.meetup.com/beer-150/events/105467342/

Masyarakat Kalimantan dan Sumatera tentu sudah jenuh dengan kabut asap. Tidak lupa rasa berkabung dan doa saya panjatkan bagi segenap warga masyarakat yang terkena dampak kabut asap. Tafakur…

Belakangan narasi yang berkembang tentang kabut asap dikaitkan langsung dengan kelapa sawit secara khusus perusahaan kelapa sawit, ada juga dikaitkan dengan perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) namun tidak begitu mecolok. Secara singkat logika yang dibangun demikian, pembukaan lahan dengan cara dibakar akan menghemat biaya land clearing, selanjutnya dapat ditanami oleh kelapa sawit, perusahaan diuntungkan dengan adanya efisiensi tersebut, akibat pembakaran tersebut menyebabkan kabut asap.

Sebelum saya lanjutkan, perlu saya sampaikan terlebih dahulu bahwa melalui tulisan ini saya berharap dapat memberikan pemikiran agar ke depan dampak kabut asap ini dapat dicegah dan tertanggulangi. Biarlah melalui tulisan ini kita belajar untuk menjadi warga negara yang bermartabat, tidak lekas menghujat dan mengutuk dengan penderitaan yang sedang dialami. Saya tidak mewakili perusahaan manapun atau lembaga apapun.

Pembakaran Lahan oleh Perorangan

Baiklah saya lanjutkan. Pertama saya sampaikan bahwasanya pembukaan lahan dengan cara dibakar tidak diperbolehkan. Hal ini mengacu pada Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab X pasal 69 ayat (1) poin h, yang berbunyi “Setiap orang dilarang : … melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar… ”. Selanjutnya masih dalam pasal 69 pada ayat (2) mencantumkan “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguhsungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”. Dalam bagian penjelasan disebutkan “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Saya kira pada pasal tersebut yang menjadi acuan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No 15 tahun 2010 yang ramai dibicarakan di media sosial. Beragam tanggapan di media sosial, namun umumnya menyayangkan dan menyalahkan Gubernur Kalimantan Tengah mengeluarkan Pergub tersebut, seolah-olah menjadi penyebab adanya kabut asap. Bahkan ada yang menyalahkan Presiden Joko Widodo mengapa tidak mencabut Pergub tersebut. Dalam Pergub tersebut diberikan kesempatan kepada setiap kepala keluarga untuk membuka lahan sampai 5 hektare yang ijinnya diberikan oleh Camat, sedangkan untuk pembukaan kebun yang luasanya 1-2 hektare ijinnya dikeluarkan oleh Kepala Desa. Sementara lahan yang luasnya kurang dari 1 hektare cukup ijin dari RT saja.

Jangan lekas menghujat, masyarakat di luar Kalimantan tentunya akan kesusahan memahami sosio-historis dibalik Pergub tersebut. Pada awalnya saya sendiri menganggap Pergub tersebut juga tidak masuk akal, namun setelah sekian lamanya tinggal di Kalimantan, saya perlahan mencoba meresapi dan memahami latar belakangnya. Masyarakat Kalimantan pada umumnya masih menganggap pembukaan lahan menjadi bagian dari kekayaan adat, sehingga ada ritual khusus dalam prosesnya. “Kami membuka lahan dengan membakar sudah semanjak dahulu, namun sejauh itu pula tidak ada kabut asap” kira-kira begitu logika yang dibangun untuk menepis tuduhan kepada masyarakat kecil yang membuka lahan dengan cara dibakar. Di sisi lain, sebelum adanya kehadiran perusahaan sawit juga pernah terjadi kebakaran besar, namun tidak sampai terjadi kabut asap. Kira-kira begitu tanggapan seorang tetua adat di Ketapang, Kalimantan Barat yang pernah saya jumpai.

Beberapa waktu lalu sebelum kabut asap meluas, saya sempat mendapat undangan upacara pembukaan lahan. Dan betul, suasana khidmat menyelimuti segenap masyarakat yang hadir dipinggiran lahan yang akan dibuka. Saya tidak begitu mengerti apa yang diucapkan oleh Demong adat, yang pasti pembukaan lahan bukan hanya semata-mata membakar, tetapi di dalamnya terselip harapan akan hasil panen mereka mendatang. Sebelum dibuka, terlebih dahulu mereka menebas yang menjadi batas wilayah yang akan dibuka, dengan maksud agar api tidak menyambar kemana-mana. Setelah itu masing-masing dari mereka menjaga diberbagai penjuru, baru setelah itu mulai dilakukan pembakaran. Tidak begitu lama, api melahap belukar yang ada, mereka baru pulang setelah memastikan apinya padam. Kira-kira begitu gambaran singkat acara pembukaan lahan di Kalimantan, tentunya akan ada variasi di beberapa tempat lainnya.

Saya masih berpikiran positif bahwasanya pembukaan lahan dengan dibakar tidak akan menyebabkan kabut asap, namun sebelumnya perlu diperhatikan beberapa prasyarat sebagai berikut. Pertama, pembukaan lahan dengan cara dibakar menjadi tidak berpotensi menyebabkan kabut asap jika masyarakat adat masih kuat. Sehingga suasana kebersamaan dalam pengendalian pembakaran tersebut masih mungkin dilakukan. Kedua, sitem pemberian ijin yang diterbitkan oleh RT, Kepala Desa ataupun Camat betul-betul perlu dilakukan koordinasi dan pemantauan serius. Untuk mengetahui keseriusan ini, silahkan dicek ke RT, Kepala Desa dan Camat berapa banyak ijin pembukaan lahan yang sudah mereka keluarkan? Barangkali akan banyak yang tidak bisa menjawabnya. Ketiga, perlu dilakukan penguatan masyarakat adat dan pemerintahan desa. Secara detail mekanisme pembukaan lahan dan tatacaranya mestinya dimuat di dalam Peraturan Desa, berikut sanksi yang mengikat ketika terjadi pelanggaran. Sementara itu juga dilakukan sinergi anatara pemerintahan Desa dengan lembaga adat yang ada, mengingat pembukaan lahan dengan pembakaran masih merupakan bagian dari keraifan lokal.

Ketika prasyarat tersebut tidak lagi terpenuhi, maka menjadi tidak arif lagi melakukan pembukaan lahan dengan dibakar. Menjadi masuk akal jika banyak suara yang menghendaki dihapuskannya peraturan yang mengijinkan dilakukannya pembakaran lahan untuk pembukaan lahan. Jika dihapus, perlu dipikirkan alternatif solusi bagi masyarakat adat untuk melakukan pembukaan lahan, misalnya dengan tebas-tebang secara gotong royong. Kalaupun peraturan tersebut masih ada, tentunya pemerintah mesti berperan lebih aktif untuk menguatkan pemerintahan desa dan lembaga adat, tidak hanya berhenti sampai penyuluhan dan himbauan. Lebih jauh lagi pemerintah pusat harus mendorong dibuatkannya produk perundang-undangan turunan yang memuat sistem tanggap darurat, terutama bencana kebakaran.

Sebagai contoh pemerintah daerah perlu didorong untuk membuat Peraturan Daerah yang mewajibkan setiap Desa atau bahkan Dusun mempunyai tim tanggap darurat, sarana pemadaman, prosedur tanggap darurat yang dirangkup dalam suaru Perarturan Desa. Tentunya hal ini didukung dengan anggaran, pertanyaannya apakah Alokasi Dana Desa (ADD) maupun Dana Desa (DD) dapat dirgunakan untuk itu?

Jadi, jika demikian sekalipun ada pembakaran lahan oleh perorangan mestinya tidak akan menyebabkan kabut asap. Kebakaran yang ditimbulkan akan segera ditangani, tidak harus menunggu Manggala Agni yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Kabupaten, tidak juga harus investasi teknologi canggih seperti satelit untuk pemantauan hot spot.

Pembakaran Lahan oleh Perusahaan

Pembakaran lahan oleh perusahaan semestinya tidak ada, dan dilarang. Tidak ada satu aturanpun yang memperbolehkan adanya pembukaan lahan oleh perusahaan dengan cara pembakaran. Namun saya sendiri tidak bisa menjamin, rumor yang saya dengar oknum dari perusahaan rela mengupah orang untuk melakukan pembakaran, itupun perusahaan sawit yang berdiri sudah cukup lama. Saya sendiri tidak bisa membuktikan rumor tersebut.

Dalam rangka pembukaan lahan, perusahaan sawit saat ini telah menggunakan NPP (New Planting Procedure), termaktub di dalamnya diantaranya pembukaan lahan dengan cara tanpa bakar, pengalokasian areal konservasi dan upaya melindungi flora dan fauna yang dilindungi. Terlebih lagi perusahaan yang telah menjadi member RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) saya rasa mereka tidak akan sebodoh itu membuka lahan dengan dibakar. Namun tidak menutup kemungkinan ada perusahaan nakal, terutama jika mereka belum sebagai member RSPO.

Narasi yang mengatakan bahwa pembukaan lahan dengan dibakar akan menghemat biaya itu hanya berlaku bagi perusahaan yang hendak melakukan pembukaan lahan, bukan yang sudah tanam. Sangat bodoh sekali kalau perusahaan melakukan pembakaran kebun yang sudah tertanam. Beberapa pemerhati lingkungan mengkaitkan pembakaran kebun yang tertanam tersebut dengan klaim asuransi yang akan diperoleh. Sampai sejauh ini saya belum mengaggap hal itu sebagai cara bertindak yang masuk akal, seberapa besar klaim tersebut tidak akan pernah bisa melebihi potensi yang diperoleh jika tanaman sawit tersebut produktif dan tidak terbakar.

Kiranya anggapan perusahaan sawit yang melakukan pembakaran lahan di wilayahnya yang telah tertanam dapat dikesampingkan. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan adanya kebakaran diperkebunan kelapa sawit yang telah tanam. Sebagaimana kita ketahui, industri perkebunan kelapa sawit sangat rentan sekali dengan permasalahan sosial, berbagai aksi sabotase bisa juga dilakukan.

Selanjutnya terdapat narasi yang mengatakan bahwa pembakaran lahan dilakukan agar hutan tersebut dapat dialihfungsikan status kawasan hutan menjadi APL (Areal Penggunaan Lain), dengan demikian dapat diajukan permohonan ijin pembangunan kebun kelapa sawit. Perlu lebih cermat untuk menyimpulkan demikian, mengingat perusahaan tidak bisa menjamin lokasi tersebut akan menjadi Hak Guna Usaha baginya. Jika saja suatu perusahaan mengistruksikan pembakaran hutan, tidak ada jaminan bahwa wilayah tersebut akan menjadi wilayah konsesinya. Bisa saja dalam proses akan diambil oleh perusahaan lain, jika demikian apalah makna istruksi pembakaran lahan tersebut? Percuma. Indikasi pembakaran lahan untuk pembukaan perkebunan baru menjadi mungkin jika perusahaan tersebut sudah ada deal-deal politik dengan penguasa, yang memungkinkan aksi pembakaran itu menjadi bernilai, tidak percuma. Mengintip siapa-siapa yang terindikasi bisa saja ditelusuri pihak-pihak mana yang telah mengjukan perubahan status kawasan ataupun arahan lokasi atas wilayah yang terbakar tersebut.

Ancaman Pasal Kelalaian

Kerena begitu susahnya menangkap pelaku pembakaran yang dilakukan oleh perusahaan, maka pasal yang dikenakan kepada perusahaan berupa kelalaian yang menyebabkan kerusakan lingkungan, dalam hal ini dilampauinya standar ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan, misalnya ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara). Perusahaan-perusahan yang di dalam areal konsesinya terjadi kebakaran dapat dijerat dengan pasal ini.

Supaya penegak hukum tidak terkesan sedang kebakaran jenggot, maka untuk menimpakan perusahaan dengan pasal tersebut perlu ditelusur lebih jauh. Pertama, periksa biaya pembangunan kebun khususnya biaya pembukaan lahan. Normalnya pembukaan lahan dengan menggunakan alat alat berat berkisar 5 juta per hektare, tentunya dengan memperhatikan kondisi lahannya. Jika biaya pembukaan lahannya terlalu kecil, patut dipertanyakan. Kedua, periksa adanya SOP (Standart Operating Procedure) pembukaan lahan, perhatikan detailnya. Jika SOP saja tidak ada maka patut dipertanyakan. Ketiga, Ketersediaan sarana prasarana pemadaman kebakaran, terutama jumlah dan spesifikasinya. Keempat, Ketersediaan tim tanggap darurat. Kelima, ketersediaan sistem penanganan bencana kebakaran. Itulah 5 hal yang perlu diperhatikan oleh penyidik supaya lebih cadas dalam menegakkan hukum, tidak terkesan sedang mencari-cari kesalahan.

Ada suatu contoh kasus, ketika penyidik memertanyakan keberadaan menara api yang menurut mereka tidak standar, terlalu pendek. Jika mengikuti standar maka menara api harus dibangun setinggi 15 m, dalihnya kalau kelapa sawit sudah tinggi maka kebakaran tidak nampak jika menara terlalu pendek. Dalam hati saya berkata “kalau sawit sudah tinggi dan ada kebakaran, tidak perlu repot-repot naik menara api, karena dari tanah saja kelihatan”. Lagipula saya sendiri belum pernah sampai puncak menara api yang tinggi itu, baru setengah saja lutut sudah gemetaran, mungkin para penyidik lebih berani.

Tidak semua kebakaran di lahan konsesi perusahaan sawit menyebabkan kabut asap. Para penyidik dapat menggunakan foto citra satelit yang disusun secara serial dari waktu ke waktu, akan terlihat jelas titik api dari mana. Kepulan kabut asap berasal darimana mengarah kemana. Sehinga dapat diperhitungkan berapa luas daerah yang terkena efek kabut asap dan darimana sumbernya. Tidak asal sikat. Pertanyaanya, ketika titik api berada di luar konsesi perusahaan yang menyebabkan kabut asap, apakah masyarakat bisa menggugat pemerintah karena dianggap lalai?

Terduga Alternatif

Pelaku perorangan dapat juga menjadi terduga pelaku pembakaran, terutama jika kegiatannya tidak terafiliasi dengan kegiatan adat. Artinya pembakaran dilakukan murni kegiatan perorangan dalam membuka lahan. Barangkali yang bersangkutan tidak ada berniat membakar lahan atau hutan sampai luas, namun apalah daya jika yang bersangkutan melakukaan pembukaan lahan seorang diri. Luasan lahan yang terbakar akibat ulah perorangan tidak bisa diprediksi. Namun jejaknya akan nampak, jika usai kebakaran nanti akan ditanami tanaman lokal dalam luasan yang tidak begitu luas.

Terdapat alternatif terduga lain, yaitu pengusaha tanggung. Mereka yang punya modal terbatas dengan kemampuan teknis terbatas patut dicurigai. Sebagai gambaran saja, biaya pembangunan kebun per hektare rata-rata 60 juta. Suatu perusahaan jika hendak membangung kebun maka luasan minimum agar tercapai BEP (Break Event Point) adalah seluas 6.000 hektare. Bisa dikalkulasikan berapa modal yang diperlukan, perhitungan tersebut belum termasuk dengan biaya pembangunan pabrik serta biaya sosila lainnya. Jadi kalau modal belum cukup besar, pengusaha ini hanya baru bisa membeli tanah dan bibit saja, dikelola ala kadarnya. Dari desain bloknya saja akan nampak, kalau di daerah rendahan sistem parit tidak ada, jalan tidak teratur, titik tanam kurang rapi. Jelaslah itu pengusaha tanggung yang masih amatiran.

Pihak penyidik bisa bekerjasama dengan dinas perkebunan, kehutanan ataupun BPN. Nampak jelas sekali foto udara ataupun foto satelit daerah yang ditanam sawit dengan bukan sawit. Peta tersebut ditumpang-tindihkan dengan peta ijin perkebunan sawit yang sudah ada, baik perorangan ataupun perusahaan. Kebun sawit yang tidak ada ijinnya patut dicurigai.

Paling banyak pengusaha tanggung bermain di kelas puluhan sampai ratusan hektare dibawah 1.000 hektare. Mereka umumnya tidak punya badan usaha berupa PT (Perseroan Terbatas), jarang sekali yang mempunyai ijin dan mereka tidak terikat kerjasama kemitraan dengan perusahaan sawit besar. Umumnya mereka menjual sawit sistem beli putus lewat pintu belakang.

Dugaan saya bukan tanpa alasan, pertama untuk mendatangkan bibit sawit. Haruslah oleh suatu badan usaha yang jelas legalitasnya. Jika melalui sumber yang jelas maka akan dapat dipastikan si pembeli akan memperoleh sertifikat keaslian bibit, bukan hanya kertas fotocopy sertifikat bibit. Si penjual bibit yang terpecaya tidak akan semudahnya mengirimkan bibit ke sembarang pembeli.

Alasan kedua, pengusaha tanggung yang akan membuka lahan untuk sawit tidak punya modal cukup maupun kemampuan teknis yang memadahi untuk mebuka lahan tanpa melalui pembakaran. Dalam kondisi seperti inilah efisiensi menjadi masuk akal. Alasan ketiga, jika untuk membuka lahan tanpa bakar itu saja tidak mungkin apakah mereka mungkin menyediakan sarana pemadaman api, SOP penanggulangan api ? Meski demikian bukan berarti semua perusahaan besar telah lengkap memenuhi instrumen tersebut, yang bandel ada juga.

Saya mengapresiasi aktifis lingkungan yang dapat melaporkan adanya penanaman sawit di areal bekas kebakaran di wilayah Nyaru Kalimantan Tengah. Hal ini membuktikan bahwa pembukaan lahan dengan sistem pembakaran untuk kebun sawit memang ada. Namun sangat disayangkan bahwa mereka tidak bisa menangkap tangan pelaku penanaman tersebut. Semestinya ditunggu beberapa saat sampai tertangkap basah ada pelaku yang sedang melalukan kegiatan di bekas kebakaran. Namun tidak jadi soal, tunggu beberapa saat lagi pasti si pemilik akan datang. Mereka tidak akan tinggal diam dengan investasi bibit sawit yang sudah dikeluarkan, hitung saja berapa jumlah pokok yang tertanam. Jika satu pokok senilai Rp 35.000 saja, sudah berapa banyak dana yang mereka keluarkan, belum lagi upah tanamnya. Untuk menilai kelas usahanya, silahkan hitung jumlah pokoknya. Rata-rata per hektare hanya sekitar 136-148 pokok, jika luasanya masih dibawah 1.000 hektare maka sudah pastilah itu ulah pengusaha tanggung.

Para pemerhati lingkungan mengkaitkan isu sawit dengan politik, hal ini bisa ditelusuri. Apakah ada juga hubungannya antara pembukaan kebun sawit kelas tanggung dengan politisi dan penguasa lokal? Atau justru aparat berseragam?

Dugaan lainnya

Merebaknya kebakaran diberbagai tempat semakin memunculkan kecurigan saya bahwa ada upaya untuk merusak industri sawit. Indonesia sebagai basis perkebunan sawit menghadapi kompetitor minyak bunga matahari dan sejenisnya yang banyak di tanam di daerah sub tropis termasuk Amerika. Mekanismenya bagaimana, tentunya isu sawit dihadapkan dengan isu lingkungan. Jadi kabut asap sebagai bencana lingkungan patut diwaspadai adanya upaya merusak stabilitas nasional.

Lebih jauh lagi ketika berbicara stabilitas nasional, siapakah yang paling diuntungkan dari kabut asap ini? Apakah mungkin ada upaya untuk menjatuhkan citra kepemimpinan pemerintahan ada yang saat ini. Orang baik dan jujur akan mendapatkan musuh lebih banyak. Apapun yang diupayakan akan selalu dicela dan dihujat.

Tanggap Darurat

Sekalipun kabut asap semakin pekat, tidak menghalangi kami untuk terus berupaya memadamkan api. Di waktu yang lain, saya selalu berusaha menggali kearifan lokal dan potensi apa saja yang dapat digunakan dalam rangka memadamkan api. Kondisi saat ini, tidak lain adalah dengan memberdayakan masyarakat sekitar. Mereka jauh lebih mengerti kondisi medan, titik api ataupun potensi sumber air. Pemerintah daerah tinggal memberikan dukungan berupa alat dan sarana pemadaman yang diperlukan. Perihal penghargaan, perlulah dipertimbangkan untuk setiap tetes keringat yang dikeluarkan. Pengalaman masyarakat bahkan menawarkan diri untuk bersama-sama membantu memadamkan api, mereka tidak mempertanyakan besarnya upah yang akan diberikan, karena kabut asap sudah menjadi penderitaan bersama.

Ultimatum

Presiden Joko Widodo, menanggapi kabut asap memberikan ultimatum tidak ada lagi ijin baru di lahan gambut, ijin yang ada agar dievaluasi kembali, fungsi lahan gambut agar dikembalikan lagi. Saya menyetujui kebijakan ini, namun saya mempunyai beberapa pertimbangan tambahan.

Gambut yang kedalamannya melebihi 3 meter tidak boleh diusahakan. Selanjutnya lokasi gambut dangkal jika tidak diusahakan atau dikelola dengan baik, maka pada saat kemarau panjang justru akan sangat berbahaya sekali. Ada atau tidak adanya pembukaan lahan untuk sawit, lokasi lahan gambut akan sangat mudah sekali terbakar. Jika sudah terbakar siapakah yang akan bertanggungjawab? Saya cenderung menyetujui agar wilayah ini diusahakan dan dikelola secara profesional. Tentunya tidak semua perusahaan sawit mempunyai komitmen yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan, pemerintah harus selektif. Pemilihan perusahaan yang akan menangani berdasarkan profesionalitas perusahaan, bukan karena yang berani pasang harga tinggi.

Wilayah lahan gambut yang diusahakan oleh perorangan, hampir bisa dipastikan pembukaan lahannya dengan sistem bakar. Meskipun awalnya tidak berencana membuka ladang secara luas, namun siapa yang berani menjamin pembakarannya tidak melebar kemana-mana? Sementara itu akses jalan, sistem pengairan dan sarana pemadaman tidak ada, bagaimana menangani ini jika terjadi kebakaran? Seberapa kuat tim pemadam kebakaran dan Manggala Agni yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten?

Saya cenderung mendorong pemerintah untuk memberikan tanggungjawab lahan gambut kepada perusahaan terdekat. Lokasi gambut dangkal dapat diperuntukkan menjadi perkebunan sawit masyarakat yang dimitrakan dengan perusahaan, sedangkan gambut dalam diperuntukkan menjadi areal konservasi perusahaan. Dengan demikian, beban pemerintah akan berkurang, perusahaan dan masyarakat mendapatkan manfaat. Sebagai catatan juga pemerintah perlu secara khusus mengawasi tata kelola areal konservasi di lahan gambut, perlu didukung juga dengan peraturan yang memadahi.

Terakhir, kebun-kebun pengusaha tanggung yang belum mempunyai ijin diwajibkan mengurus ijin. Selain itu perlu didukung pula agar ada perjanjian kerjasama dengan perusahaan. Akan sangat lebih baik jika pengelolaanya sistem manajemen satu atap. Pertimbangannya adalah dengan adanya perjaanjian kerjasama tersebut maka harga penjualan TBS (Tandan Buah Segar) menjadi terjamin, selain itu tata kelola pembangunan kebun dapat mengikuti bahkan melebihi standar minimal yang diberlakukan. Jika pemerintah masih membiarkan masyarakat membuka dan mengelola kebun kelapa sawit secara pribadi, tentu resiko ini kabut asap akan tetap tinggi. Penertiban kebun perorangan tersebut bukan tanpa kendala, pasti akan ada banyak yang menentang. Karena pemilik kebun tersebut bisa jadi adalah raja-raja kecil di daerahnya.

Saya sangat peduli dengan lingkungan, saya peduli dengan masyarakat, saya peduli dengan bangsa ini. Saya rasa kita bersepakat, jangan lagi ada kabut asap di Indonesia. Kita lakukan peran kita masing-masing dengan sepenuh hati. Kita selaku anak bangsa tentunya lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan, tidak kemudian merespon kabut asap seperti sedang kebakaran jenggot.

Main Bola

http://i154.photobucket.com/albums/s243/amie089/bola-kartun.gifKetika masih anak-anak, mungkin saat itu aku sudah kelas 1 SMP. Seperti halnya anak-anak yang lain, main sepak bola merupakan hal yang menyenangkan. Saat main bola sebagai kegiatan bersenang-senang dengan teman sebaya, kakek saya tidak menghiraukan. Namun ketika minatku semakin besar, kakek mempertanyakan niatku? Kala itu aku meminta dibelikan sepatu untuk bermain bola.

Pertama, kakeku menanyakan apa tujuanku bermain bola? Aku jawab untuk mencari keringat. Langsung saja kakeku mengambil pikulan, keranjang kecil, dan sabit sambil berkata “ Ayo kalau mau cari keringat”. Sepertinya aku salah membuat alasan, mau tidak mau saya ikut kakek ke ladang untuk cari rumput.

Beberapa hari berlalu, aku mencari-cari alasan yang tepat untuk bermain bola. Aku dapat alasan yang cukup bagus, kembali saya jumpai kake untuk meminta ijin bermain bola. Lagi saya ditanya “ Untuk apa main bola?” saya menjawab dengan yakin bahwa saya bermain bola untuk pergaulan, wajarnya anak-anak. Kakek tidak melarang, namun kali ini dia banyak bercerita. Intinya menanyakan apakah tekatku sudah bulat?

Saya dibuat penasaran dengan ekspresi kakek yang tersenyum penuh misteri.  Saya balik bertanya “Emang kenapa mbah?” Pelan-pelan kakek menjawab dengan pertanyaan. “Apa untungnya main bola? Kamu main bola untuk cari keringat? Sama-sama berkeringat kan lebih baik kamu ke ladang, kerja atau cari rumput. Rumput kamu bawa ke kandang untuk pakan babi dan sapi. Nanti kalau sudah besar sapi dan babimu bisa dijual untuk beli baju dan keperluan sekolahmu”.

Kakek masih melanjutkan pembicaraannya. “Kalau kamu main bola, sudah capek, kamu lapar tidak dimasakkan sama nenek, babi dan sapi juga terurus. Kamu pilih mana? Masih mau main bola?” Terdiam cukup lama, kesal dan sedih, saya masih belum beranjak dari hadapan kakek yang masih mencincang dedaunan untuk pakan babi. Kakek tahu bahwa aku tidak berterima dengan ucapannya, lanjut dia menceritakan beberapa kejadian saat orang bermain bola. “Perlu kamu ketahui, sepak bola itu olahraga yang keras. Tidak jarang orang beradu kaki sampai keseleo bahkan kadang ada yang sampai patah tulang. Kalau sudah begitu mau bagaimana? Kamu jadi cacat, dan darimana biaya pengobatannya? Jual babi dan sapimu belum cukup untuk mengobati jika sampai patah” demikian kakek menambahkan ceritanya untuk meyakinkanku.

Sejak saat itu aku tidak lagi bermain sepak bola, paling hanya sekali-kali menonton bola. Itupun kakek selalu berpesan agar tidak usah terlalu fanatik. “Kalah-menang itu hal biasa, namanya juga permainan. Nikmati saja kebodohan yang ada” Kaget dengan pernyataan itu, saya menanyakan balik apa maksudnya? Kakek menjawab “Betapa tidak bodoh, orang-orang dewasa seharusnya bekerja kok malah berebut satu bola? Kalau anak-anak masih maklumlah. Yang lebih bodoh lagi adalah penontonnya, sudah tahu begitu tapi ada juga yang kemudian mau berantem. Dapatnya apa?”. Saya tetap menonton pertandingan bola di lapangan desa, yang hanya berjarak 3 km dari rumah dengan jalan kaki.  Namun sepanjang permainan, saya justru tidak henti-hentinya merenungkan apa yang dikatakan kakekku.

Semakin bertambah usia, aku mulai menyadari beberapa kekhawatiran kakekku jika aku bermain bola. Kala itu masih terdengar rumor jika para pemain bola tidak hanya bermain dengan teknik dan startegi, namun kadang juga ada yang pakai “ilmu”. Orang-orang yang demikian biasanya bermain kasar, tidak jarang memancing emosi lawan. Jika sudah demikian kadang juga dapat memicu perkelahian yang melibatkan para penonton.

Kebiasaan menonton pertandingan sepak bola masih aku lakukan sampai aku lulus SMP. Namun selalu saja sepulang dari menonton sepak bola kakek saya bertanya “Dapat apa?”. Saya hanya bisa tersenyum. Menginjak SMA sampai sekarang, aku tidak lagi bermain sepak bola. Kemampuan motoriku sama sekali tidak terasah. Bahkan ketika pertandingan persahabatan antar angkatan ketika masih kuliah, teman-teman membiarkan aku menendang bola di depan gawang tanpa pengawalan. Meraka tahu, meski tanpa pengawalan tembakanku tidak akan masuk ke gawang. Tidak lucu ah.

Belakangan  saya merenungkan kembali dengan apa yang pernah disampaikan kakekku. Sangat ironis sekali bagaimana permainan sepak bola disinyalir ada pengaturan skor, belum lagi polah tingkah para suporternya. Mulai dari aksi perkelahian, pelemparan batu sampai dengan perusakan kios. Hal yang paling diagung-agungkan dalam olahraga yaitu sportifitas nampaknya hanya menjadi slogan semata. Parahnya lagi, sekalipun bukan suporter tim yang bermain, ada saja yang melakukan keributan terhadap suporter tim yang bermain. Bukan tanpa alasan, hal ini mungkin terjadi karena adanya sejarah permusuhan antar suporter sebelumnya. Sangat disayangkan sesama anak bangsa berbuat demikian. Apakah tidak lebih baik energi jiwa muda yang begitu luar biasa besar ini dialihkan untuk hal-hal yang lebih positif untuk membangun bangsa?

Sekali lagi saya teringat dengan pertanyaan kakek saya “Dapatnya apa? Biar apa?”

Mengapa Scientiarum?

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan diskusi dengan Aron Daud Unas, via chat Facebook. Bukan orang sembarangan, Aron adalah mantan Ketua Umum SMU 2014-2015. Sudah lama sekali saya tidak pernah bicara serius tentang LK (Lembaga Kemahasiswaan) UKSW, terakhir sekitar tahun 2010-an. Periode setelah itu hampir tidak ada lagi teman-teman aktifis yang sekedar say hello apalagi berdiskusi tentang LK. Entah darimana sumbernya, Aron mengajak pertemanan di FB, setelah itu kami terlibat beberapa pembicaraan serius tentang LK.

Terakhir dia menanyakan bagaimana harapan saya terhadap LK, saya jawab saya sudah tidak banyak berharap dari LK, saya lebih memberikan perhatian pada Scientiarum (SA). Kemudian dia menanggapi, kenapa Scientiarum? Saya berikan penjelasan panjang lebar, tapi intinya begini. SA itu lembaga pers mahasiswa, ada dibawah koordinasi SMU (Senat Mahasiswa Universitas), artinya keberlangsungan SA sangat tergantung dari kebijakan dari SMU bagaimana menempatkan SA. Pada periode 2005-2006, Universitas melihat peran strategis SA dalam rangka membangun wacana kritis prinsipil, sehingga melalui WR III (Umbu Rauta) memberikan dukungan dana sebesar 25 juta untuk satu tahun anggaran.

Dana tersebut luar biasa besar, biasanya SA hanya diberikan anggaran tidak lebih dari 10 juta. Saya pada waktu itu dengan tegas, menanyakan kepada WR III akan kebijakan tersebut “Apakah ini berarti SA dibeli oleh kampus, dan kami tidak boleh memberikan kritik terhadap kampus?” Umbu Rauta menjelaskan, bahwa Universitas tidak akan mencampuri urusan isi dan redaksi dari SA, itu semua tanggung jawab SMU. Jadi sudah menjadi kewajiban SMU untuk melakukan pengawasan, sehingga ketika ada permasalahan seputar isi dari SA, Ketua SMU-lah yang dipanggil, bukan pimred SA. Dana pembinaan ini semata-mata merupakan bentuk komitmen dan dukungan universitas, sepertihalnya universitas mendukung keberadaan vokal grup Lentara Kasih dan Voice of SWCU.

Bambang Triyono, Pimred waktu itu menyanggupi. Bahkan kita kewalahan untuk bisa menerbitkan sampai 3 volume, mengingat waktu itu personil SA hanya terdiri atas orang-orang yang gemar diskusi dan menulis saja, kita belum terlatih secara serius dalam hal jurnalistik.

Berangkat dari penggalan cerita tersebut tergambar bagaimana hubungan SA dengan SMU dan Universitas melalui WR III. Nah untuk periode setelah itu saya kurang tau, tapi belakngan saya melihat dukungan dana kepada SA sangatlah minim. Sampai-sampai kami para alumnus turut berkontribusi dana hanya sekedar untuk menjaga supaya web SA tetap hidup.

Saya bertanya-tanya, dimanakah LK? Bagaimanakah dukungan universitas terhadap pengembangan mahasiswa? Mengapa SA saya jadikan contoh kasus, mungkin tidak hanya SA tapi hal ini bisa berarti juga beberapa kelompok diskusi atau UKM lainnya. Jika posisi strategis SA tersebut tidak diaggap penting oleh universitas, lalu apalagi yang lebih penting sebagai tanggungjawab universitas dalam menyelenggarakan pembinaan mahasiswa?

Jika ada kesan SA dikebiri melalui pemotongan anggaran dan LK diam saja, maka alasan inilah saya tidak ada harapan lagi untuk LK. Sikap dan dukungan universitas terhadap SA adalah contoh kecil realitas kehidupan mengenai arogansi si penguasa terhadap si lemah. Jika nurani para fungsionaris LK tidak peka membaca situasi ini, maka saya anggap fungsi radar dari LK sudah jebol, tidak berfungsi. LK bukan hanya pandai menyusun dan merealisasikan program kegiatannya, namun lebih dari itu mampu membangun ketrampilan berorganisasi, semangat kolektifitas dan kepekaan sosial. Jika tidak setia pada perkara kecil ini, bagaimana mungkin dapat menerima tanggungjawab yang lebih besar (kelak dalam dunia kerja)?.

Secara internal saya berikan masukan kepada segenap anggota SA, inilah momentum untuk memperbaiki diri. Menyadari posisi strategis SA, bukan hanya kumpul-kumpul dan foto sana-sini. Boleh saja mendalami fotografi, dan bahkan fotografi menjadi suatu media advokasi yang strategis. Bersamaan dengan itu budaya kumpul-kumpul semestinya terarah dalam suatu diskusi, sembari masing-masing menuliskan pengalaman tersebut. Output dari SA bukanlah majalah, tulisan atau foto, tetapi adalah jiwa-jiwa yang secara kritis prinsipil mampu membaca, menuliskan suatu realitas kehidupan dan melakukan berbagai aksi sebagai manusia yang berdaya cipta. Itu saja, tidak muluk-muluk.

Kembali lagi Aron menanyakan, kenapa saya tidak menyampaikan hal itu kepada fungsionaris LK? Saya tidak mau dianggap post power syndrome, saya kalau tidak ditanya ya tidak bersuara. Saya mau sampaikan hal ini ke Aron, karena Aron sudah lengser. Selebihnya adalah tanggungjawab fungsionaris LK untuk memenuhi tugas dan panggilannya. Apakah LK hanya akan handal membuat program saja, atau bagaimana?

Saya menutup dengan, ada kalanya batu yang dibuang akan menjadi batu penjuru. Demikian.