Monthly Archives: July 2008

Demokrasi Sudah Usang

Seiring dengan masuknya imperialisme barat ikut terbawa juga paham-paham mengenai hubungan warga negara dengan pemerintah. Sejak saat itu demokrasi dianggap sebagai salah satu cara yang paling beradab dalam rangka menentukan masa depan suatu negara atau wilayah kekuasaan tertentu.

Tidak disadari sepenuhnya, dengan masuknya paham demokrasi juga membawa konsekuensi yang sebenarnya tidak diharapkan. Apa mau dikata, kita yang sudah terlanjur mengkultuskan demokrasi merasa paling berhak untuk menentukan masa depan masyarakat kita. Untuk itu tak jarang dikeluarkan isu-isu yang bersifat sektarian, kedaerahan, kesukuan dan kelompok masyarakat tertentu. Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi mengingat konsep dasar dari demokrasi adalah keterwakilan komponen-komponen masyarakat. Konsekuensinya adalah munculnya partai-partai yang berusaha untuk mengakomodir sebanyak mungkin kepentingan masyarakat. Isu-isu sektarian tersebut bisa sangat ampuh untuk memikat hati masyarakat untuk memberikan dukungan suaranya dalam pemilihan jika isu tersebut terkait dengan dominasi masyarakat setempat, baik itu suku, agama, atau latar belakang profesi. Masing-masing berlomba-lomba menegakkan demokrasi dan menunjukan diri sebagai yang paling berhak untuk memimpin. Berikut beberapa konsekuensi yang dapat timbul dari praktek demokrasi:

Konflik horisontal dan kerusakan fasilitas publik
Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh pegiat demokrasi bahwa dengan membawa kepentingan-kepentingan kelompok dalam bungkus isu sektarian dapat memunculkan konflik horisontal antar komponen masyarakat. Sudah terlalu banyak contoh konflik ini, terlalu panjang untuk disebutkan satu-persatu. Barangkali ada yang mengelak bahwa perebutan pengaruh melalui kampanye ataupun aksi unjuk rasa yang berbuntut perseteruan tidak dikategorikan sebagai konflik, karena tidak sampai terjadi kontak fisik. Tapi ingat justru melalui mekanisme yang semacam itulah konflik horisontal mendapatkan energi dengan semakin tinggi intensitas perseteruan yang akhirnya terakumulasi dan pecahlah konflik, meski event pemilihan telah berlalu.
Jikalau konflik sudah terjadi, maka yang sudah pasti menjadi resiko adalah kerusakan fasilitas publik ataupun pribadi. Itu belum termasuk kerugian tidak langsung akibat terhambatnya aktifitas perekonomian masyarakat. Efek perseteruan yang berbuntut konflik tersebut tidak selalu terjadi pada kedua kubu yang berseteru, tapi juga dapat melibatkan komponen ketiga seperti KPU, Kepolisian atau warga masyarakat sekitar yang tidak ikut langsung dalam konflik. Sudah cukup banyak kantor Pemerintah, KPU, Kantor Polisi ataupun rumah pribadi yang menjadi korban.


Biaya yang terlalu mahal untuk persalinan demokrasi

Untuk menyelenggarakan pemilihan suara dalam melahirkan demokrasi dibutuhkan biaya yang cukup menguras APBN atau APBD, mulai dari pengadaan kertas suara sampai kepada hornor bagi para pengawas proses pemilihan tersebut. Itu belum termasuk uang yang dikeluarkan dari para kandidat sebagai umpan untuk membeli suara masyarakat yang bisa sangat besar sekali. Tak jarang juga ditemui kasus penyalahgunaan dana non-budgeter dari departemen atau kantor tertentu untuk menyulang kebutuhan dana dalam kampanye.

Maraknya politik uang tersebut mendapatkan respon positif dari sebagaian masyarakat yang notabene sudah terjebak dalam paradigma pragmatis dan materialis oleh karena krisis multi dimensi yang berkepanjangan. Sama-sama mencoblos tidak salah juga kalau mereka mendapatkan reward secara langsung berupa uang atau barang. Namun, hal ini tidak disadari oleh masyarakat secara langsung bahwa para kandidat yang melakukan politik uang tersebut pada kemudian hari jika terpilih akan melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan modal termasuk mendapatkan keutungan secara materi tentunya. Jikalau seorang pemimpin memang dengan baik hati dan dermawan hendak memberikan sumbangan ke warga, mengapa tidak langsung saja memberikan sumbangan ke warga masyarakat tanpa harus menjadi kandidat ?

Upaya untuk mengembalikan modal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, sebagian besar adalah melalui praktek yang mempunyai nama generik sebagai korupsi baik melalui penyalahgunaan APBN/APBD, dana siluman dalam proyek-proyek pembangunan, maupun upeti dari kantor ataupun dinas-dinas yang ada di bawahnya. Bukan rahasia umum lagi, jika untuk mendapatkan tender dalam proyek-proyek pembangunan seorang kontraktor harus memberikan uang pelicin yang cukup besar, bergantung nilai proyeknya. Namun demikian sang kontaktorpun juga tidak mau dirugikan, akhirnya mau tidak mau baik melalui kesepakatan di bawah tangan ataupun secara diam-diam proyek pembangunan tetap dilaksanakan tapi dengan kualitas yang jauh di bawah strandar yang seharusnya. Makanya jangan heran kalau mendapati fasilitas publik yang cepat rusak meskipun baru saja dibangun. Bahkan ada juga yang sudah rusak ketika sedang dibangun. Akhirnya, rakyat juga yang menderita.

Pemimpin yang populis

Lazimnya setelah pemungutan suara maka dapat diketahui siapa yang hendak menjadi pejabat baik eksekutif ataupun legislatif. Karena demokrasi tidak punya mata, hati dan pikiran, maka satu-satunya yang dipahami demokrasi adalah yang mendapat suara terbanyak yang menang. Oleh karena itu, jangan heran kalau misalnya dijumpai pemimpin yang lebih capable tidak terpilih tapi justru yang terpilih adalah yang lebih populer meski capable atau tidak. Hanya saja terkadang orang-orang terlanjur menggunakan parameter kapabilitas itu menyangkut pengalaman menangani hal yang sama, dengan kata lain isu kapabilitas banyak dibawa oleh tim sukses dari pihak incumbent. Tidak ada salahnya juga incumbent juga terlibat lagi dalam pemilihan berikutnya, yang saya garis bawahi adalah jangan hanya menggunakan parameter yang lebih berpengalaman yang lebih capable.

Isu mengenai kapabilitas juga terkadang dipelintir menjadi isu tingkat pendidikan yang telah diperoleh oleh sang kandidat. Sebagai catatan tidak semua orang pintar bisa memimpin, apalagi yang kepintarannya diperoleh hanya dengan menambahkan gelar akademis secara instan.

Sikap apolitis
Residu dari proses demokrasi yang tidak kunjung memberikan perubahan nasib bagi warga masyarakat dapat menimbulkan sikap apolitis. Berkembangnya pengetahuan dan kesadaran manyarakat akan proses demokratisasi semakin membukakan mata masyarakat terhadap usangnya demokrasi. Jargon yang telah didengungkan beratus-ratus tahun ini tetap juga menyisakan luka di hati masyarakat kecil yang tidak pernah ikut merasakan nikmatnya demokrasi. Di Amerika yang begitu menunjung tinggi demokrasi ternyata partisipasi warga dalam pemilihan dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan, bahkan pernah dikabarkan jumlah pemilih yang tidak menggunakan suaranya lebih dari 15%.

Waspada isu pembangunan
Sebagai penutup yang perlu mendapatkan perhatian bersama adalah mengenai isu pembangunan yang dikeluarkan oleh para kandidat. Pembangunan sudah sepantasnya dilakukan sebagai implementasi visi dan misi ketika berkampanye dan hal ini juga menjadi harapan warga masyarakat juga, dengan asumsi melalui pembangunan maka akan dapat meningkatkan pemerataan kesejahteraan. Sisi yang harus diwaspadai adalah, bahwa melalui proyek-proyek pembangunan tersebut sangat potensial untuk dapat memenuhi pundi-pundi keuangan pribadi ataupun partai. Konsekuensinya seperti telah saya singgung di atas, yaitu menurunnya kualitas banggunan dari yang seharusnya jika dibandingkan dengan besarnya niai proyek tersebut.

Mengapakah begitu mahal melahirkan demokrasi? Ataukah karena demokrasi memang sudah usang? Apakah kita generasi muda punya tanggungjawab untuk memberikan kontribusi terhadap negeri ini dalam rangka mewujudkan pemerataan kesejahteraan dengan cara-cara yang lebih kontekstual dan tentunya tidak mahal.

Mastering The Conflict

I. PENGANTAR

Jika berkonflik atau tidak berkonflik merupakan suatu pilihan, manakah yang akan dipilih? Kemungkinan besar akan memilih untuk tidak berkonflik. Mengapa? Karena secara naluriah manusia cenderung untuk tetap menjaga keharmonisan dengan sesama, menyukai kemapanan, menjaga comfort zone, meskipun di sisi lain manusia juga cenderung untuk menjadi ”lebih” dari yang lainnya. Dalam rangka menjadi ”lebih” tersebut, tak jarang manusia juga dengan sadar harus berkonflik, namun demikian hampir semuannya merupakan konflik yang masih dalam batas-batas terjaganya keharmonisan dengan sesama. Dengan kata lain manusia mempunyai paradoks dalam konflik, satu sisi berharap keharmonisan di sisi lain keinginan untuk ”lebih” yang terkesan menghalalkan segala cara termasuk harus berkonflik.

Dengan melihat realitas tersebut, berarti konflik akan selalu ada. Ketika konflik akan selalu ada, dimanakah posisi kita? Sebagai pengamat, negosiator, mediator, atau justru sebagai korban. Apakah kita tetap akan terus menghindari konflik?

  • Konflik dan Kepemimpinan

Konflik yang berada di dalam suatu lembaga komersil (perusahaan), cenderung sangat tidak dikehendaki karena dapat mengganggu stabilitas dan produktifitas, yang akhirnya dapat mendatangkan kerugian. Pada lembaga pembelajaran[1], belum tentu konflik tidak diharapkan. Ada beberapa alasan mengapa konflik diperkenankan dalam lembaga pembelajaran: pertama, dalam kondisi tertentu konflik itu sendiri dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kedua, melalui konflik sangat potensial untuk menghasilkan pemimpin secara alami. Ketiga, konflik sebagai mekanisme pencapaian tujuan seorang pemimpin di dalam organisasi.

  • Definisi

Konflik merupakan situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi. Sikap saling mempertahankan diri  sekurang-kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan  berbeda, dalam upaya mencapai satu  tujuan sehingga mereka  berada  dalam posisi oposisi, bukan kerjasama (Anonim, 2003). Terlepas dari definisi tersebut, Daniel Dana (2006) memberikan batasan konflik selalu mengandung unsur perasaan (emosi), pemikiran (persepsi), tindakan (perilaku). Ketika unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi maka tidak dapat dikategorikan sebagai konflik, karena tidak dapat diatasi dengan alat bantu resolusi konflik yang akan dibahas kemudian.

II. KONFLIK DI ATAS KERTAS

  • Pola Konflik

Secara umum konflik akan memperlihatkan fase-fase berikut: Pada tahap pertama dimana muncul suatu krisis yang potensial mengancam kelangsungan proses suatu organisasi. Ancaman tersebut dapat berupa sabotase, menurunnya produktifitas, atau pemogokan. Tahap kedua, eskalasi ketidaksesuaian paham meningkat sehingga menarik perhatian orang lain terutama atasan. Pada tahap ini sudah dirasa perlu untuk melakukan tindakan korektif. Tahap ketiga, konfrontasi menjadi pusat perhatian. Pada tahap ini sudah terjadi pembicaraan mengenai beberapa alternatif tindak lanjut untuk menangani konflik pada level atasan. Tahap keempat, krisis dialihkan yaitu dengan penelitian atau penelaahan mendalam tentang persoalan-persoalan mendasar dan tuntutan untuk selanjutnya dapat diambil keputusan untuk menerima atau menolaknya.

  • Tipe Konflik

Konflik Semu (Konflik Intrapersonal)[2]. Merupakan konflik yang terjadi dalam individu itu sendiri. Konflik ini dapat terjadi karena kelebihan beban peran (role overloads), ketidaksesuaian peran yang bersangkutan (person-role incompatibilities). Konflik tersebut dapat berupa dua pilihan atau lebih yang sama-sama atraktif (Konflik tipe A : approachapproach conflict). Selanjutnya adalah konflik tipe B (avoidance-avoidance conflict) ketika pilihan yang ada sama-sama tidak atraktif atau tidak dikehendaki.  Konflik tipe C (approachavoidance conflict), ketika terdapat satu pilihan yang atraktif diantara pilihan yang kurang atraktif tetapi secara simultan orang didesak untuk menghindarinya karena aspek-aspek yang tidak diinginkan berkaitan dengannya. Konflik tipe D (multiple approachavoidance conflict), Sama halnya dengan konflik tipe C hanya saja terjadi pengulangan dengan variabel penghambat yang lain.

Konflik Nyata (konflik interpersonal, konflik antar kelompok, Konflik antar organisasi). Konflik yang terjadi antar pribadi, yang merupakan konflik paling sering dijumpai. Konflik antar kelompok lazim dijumpai dalam satu organisasi, sehingga menyebabkan integrasi dan koordinasi sulit dilaksanakan. Penyebab yang umum dijumpai pada konflik antar pribadi dan antar kelompok antara lain : batasan pekerjaan yang tidak jelas; hambatan komunikasi ; tekanan waktu; standar peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal ; pertikaian antar pribadi; perbedaan status; harapan yang tidak terwujud. Sedangkan konflik antar organisasi cenderung disebabkan adanya persaingan atas suatu sumberdaya vital ataupun perbedaan ideologis.

  • Faktor Kunci

Terlepas tipe konflik tersebut semu ataupun nyata kita dapat menggunakan pisau analisis yang lain, yaitu dilihat dari perbedaan fakta, perbedaan metode, perbedaan tujuan, perbedaan nilai. Setelah perbedaan-perbedaan yang ada teridentifikasi maka dapat diketahui alasan-alasannya sehingga dapat disusun tindakan-tindakan untuk mengatasinya.

Ketika terjadi perbedaan-perbedaan fakta maka informasi yang diperoleh perlu dibagikan kepada pihak-pihak yang bertikai. Perlu dilakukan pengecekan validitas data, dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data dari sumber yang dapat dipercaya. Ketika terjadi perbedaan metode perlu dicarikan alternatif metode yang lain, mengingat perbedaan tersebut bukan pada tujuannya. Ketika terjadi perbedaan tujuan perlu dilakukan perdebatan mendalam tujuan tersebut dibandingkan secara relatif terhadap tujuan organisasi. Ketika terjadi pebedaan nilai perlu dilakukan share sehingga dapat saling memahami dimana wilayah nilai yang tumpang tindih.

  • Gaya Manajemen Konflik

Ketika terjadi konflik, terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan yang didasarkan pada seberapa besar tingkat assertiveness[3] dan cooperativeness[4]-nya.

Tindakan menghindari terjadi ketika tidak kooperatif dan tidak asertif, menarik diri dari situasi yang berkembang, bersikap netral terhadap segala kondisi. Tindakan kompetisi terjadi jika bersikap tidak kooperatif namun asertif, menentang pihak lain dan berjuang untuk mendominasi agar sesuai dengan yang diharapkan. Tindakan akomodasi berati bersikap kooperatif namun tidak asertif, membiarkan pihak lain menonjol, meratakan perbedaan agar dapat mempertahankan harmoni yang dibuat. Tindakan kompromis berarti cukup kooperatif juga cukup asertif tapi tidak maksimal, bekerja untuk pemuasan kebutuhan parsial semua pihak, tidak merasa menang atau kalah. Tindakan kolaborasi, berarti bersikap sangat kooperatif juga asertif, berusaha untuk benar-benar mencapai kepuasan semua pihak, mencari dan memecahkan masalah sedemikian rupa sehingga setiap pihak mencapai keuntungan.

  • Hasil Konflik

Konflik Kalah-Kalah. Hasil konflik kalah-kalah dapat terjadi jika konflik ditangani dengan pendekatan mengindar, akomodasi atau kompromi. Sikap menghindar merupakan bentuk ekstrim dari ketidak pedulian, berpura-pura seolah konflik tidak ada dan akan  selesai dengan sendirinya. Tindakan akomodasi memungkinkan terjadinya penekanan terhadap esensi konflik yang mengaburkan upaya penyelesaian masalah yang sebenarnya. Di indonesia orang cenderung untuk memilih untuk berkompromi yaitu jika proses akomodasi dibuat sedemikian rupa hingga mengorbankan hal-hal tertentu. Akibatnya tidak seorangpun mencapai keinginan sepenuhnya.

Konflik Kalah-Menang. Ketika pendekatan terhadap konflik adalah kompetisi maka hasilnya merupakan menang-kalah. Hal tersebut dapat dicapai melalui persaingan karena penggunaan kekuatan, ketrampilan yang superior tau karena unsur dominasi. Jika figur yang mempunyai otoritas bermain secara aktif di dalam konflik maka sudah dapat dengan jelas dipetakan siapa yang menang dan kalah.

Konflik Menang-Menang. Konflik menang-menang menghasilkan keuntungan di semua pihak, yaotu dengan melakukan kolaborasi dan melakukan konfrontasi persoalan yang ada dan digunakan cara-cara pemecahan masalah untuk mengatasi perbedaan pendapat dan pandangan. Semua persoalan yang relevan diperbincangkan secara terbuka.

III. MENJADI MASTER ATAS KONFLIK

  • Pihak-Pihak yang Berkonflik

Hampir semua konflik nyata cukup mudah disadari, namun demikian tidak jarang juga terdapat konflik yang relatif lebih cepat sehingga kita tidak cukup peka menyadarinya. Masih bagus jika dalam konflik tersebut tidak terlibat langsung atau hanya sebagai pengamat saja, karena dalam kondisi tertentu pengamat juga dapat menjadi korban.  Baik pengamat ataupun korban sama-sama tidak punya otoritas atas konflik tersebut.

Dalam konflik interpersonal pelaku konflik mempunyai otoritas yang tinggi dan juga yang bersangkutan tidak mewakili konstituen sehingga penanganan akan lebih mudah yaitu dengan mempertemukan kedua belah pihak. Ketika kita merupakan pelaku konflik langsung dan tidak ada mediator atas konflik yang sedang kita alami, kita dapat berinisiatif dengan cara melakukan mediasi diri. Ketika kita sedang memediasi diri maka kita yang melakukan analisis konflik dengan demikian kita harus bersikap senetral mungkin terhadap pembahasan masalah serta alternatif penyelesainnya.

Dalam konflik antar kelompok ataupun konflik organisasi besar kemungkinan akan muncul beberapa orang negosiator konflik, bisa merupakan pihak yang bertikai atau pihak luar yang ditunjuk. Tingkat kemudahan penyelesaian masalah juga ditentukan oleh otoritas negosiator, jika otoritas rendah maka semakin sulit untuk menyelesaikan konflik. Ketika pihak-pihak yang berkonflik tidak menggunakan pendekatan kolaboratif, penyelesaian masalah bisa menjadi lebih susah oleh karena itu membutuhkan pihak ketiga yang netral untuk menjadi mediator atau fasiltator konflik. Seseorang bisa menjadi fasilitator ketika saluran komunikasi atara pihak yang bertikai masih cukup lancar, namun jika saluran komunikasi terhambat maka peran seorang mediator lebih dibutuhkan.

Konflik lebih banyak dijumpai sebagai suatu fenomena yang sudah terjadi, bahkan istilah konflik itu sendiri tidak dapat melingkupi peristiwa yang belum atau akan terjadi.  Ketika peristiwa yang akan terjadi menjadi konflik tidak dapat terdeteksi maka kita hanya akan bersifat reaksioner[5]. Dalam kondisi seperti ini konflik menyerupai hantu, menebar teror atas manusia baik siang atau malam tidak ada yang mengetahuinya.  Bagimana jika kita sedikit lebih mendekat pada gejala yang akan menjadi konflik sebagai pengamat[6], mungkin tangan dan kaki kita gemas ingin segera bergerak mengambil alih, atau menendang. Dalam permainan sepak bola secara langsung ambisi dan kegemasan yang dilaksanakan saat menonton tidak akan begitu mudahnya terwujud. Bahkan umpamanya ketika kita diperbolehkan untuk menggantikan salah satu pemainnya, bisa jadi kita bermain tidak lebih baik dari yang kita gantikan.

Bagaimana kalau kita mendapatkan kuasa sedemikian rupa sehingga hampir dapat mengendalikan semuanya. Untuk mempermudah imajinasi bayangkan saja kita sedang bermain PES 8 di komputer. Begitu mudahnya kita menggati pemain, kostum, strategi, termasuk juga kendali atas waktu. Satu hal yang tidak bisa dikendalikan secara penuh yaitu kemenangan, namun kita dapat mengusahakan peluang kemenangannya menjadi lebih tinggi. Dalam situasi seperti pemain PES 8 inilah kita berperan sebagai master atas konflik. Penjelasan lebih lanjut menjadi master konflik akan dibahas dalam sub bab selanjutnya, setelah kita belajar menganalisis konflik.

  • Analisis Konflik

Agar dapat menyelesaikan konflik baik sebagai pelaku, negosiator, mediator terlebih master konflik maka kita harus belajar untuk menganalisis konflik. Pisau analisis untuk konflik adalah sebagai berikut:

Kesalingtergantungan. Seberapa besar tingkat ketergantungan antar pihak yang bertikai. Semakin besar tingkat ketergantungan maka kerugian untuk tidak menyelesaikan konflik juga semakin besar. Jika tingkat ketergantungan rendah maka konflik dapat pudar dengan sendirinya seiring dengan waktu, atau justru meningkat jika terus mendapat energi tambahan. Ketika tidak ada kesalingtergantungan maka konflik tidak akan terjadi, karena pihak-pihak tersebut tidak dapat meninggalkan konflik tanpa menanggung konsekuensi negatif.

Jumlah pihak yang berkepentingan. Berapa banyak pihak yang terlibat dalam konflik tersebut, apakah perorangan atau kelompok. Ketika jumlah pihak yang terlibat semakin banyak maka penyelesaian masalah menjadi semakin sulit karena jug harus memperhitungkan faktor keberterimaan masing-masing individu yang terlibat.

Perwakilan konstituen. Apakah pihak-pihak tersebut mewakili pihak lain, yang tidak terlibat secara langsung dalam penyelesaian konflik tersebut. Ketika kita berbicra mewakili orang lain apakah orang tersebut juga akan berterima dengan penyelesaian masalah yang dihasilkan. Meskipun kita yang mewakili merasa cocok dengan penyelesaian masalahnya, belum tentu yang kita wakili akan berterima.

Otoritas negosiator. Ketika seorang negosiator mewakili konstituen mempunyai otoritas tinggi maka dia tidak perlu kembali menanyakan pendapat dari konstituen akan perkembangan ataupun penyelesaian masalah. Konstituen akan menerima apapun hasilnya, dengan demikian penyelesaian masalah akanlebih mudah.

Keadaan mendesak atau kritis (urgensi). Apakah penting untuk mendapatkan solusi dalam waktu yang cepat. Semakin mendesak kebutuhan akan solusi maka semakin sulit untuk mendapatkan konsensus atas masalah tersebut.

Saluran Komunikasi. Apakah pihak-pihak yang bertikai dapat bertemu secara langsung, ataukah hanya melalui telepon, teleconference, email, atau on line chat? Dialog secara langsung pada waktu yang sama di tempat yang sama hampir selalu menghasilkan solusi yang lebih baik.

  • Mastering  the Conflict

Untuk menjadi master konflik harus mempunyai kemampuan analisis, negosiasi, mediasi sekaligus pemahman konsep yang luas. Selain itu untuk dapat ”bermain-main” pada sekala yang lebih luas maka diperlukan juga dukungan sumberdaya yang memadahi, baik secara materi atau fisik, jejaring, informasi dan teknologi, masa pendukung maupun instrumen formal. Untuk lebih mudahnya memahami master konflik secara sederhana kita bisa menganalogikan seorang bidan yang sedang membantu proses persalinan. Brangkali seumur hidupnya bidan tersebut juga tidak pernah melahirkan bayi, namun dari pengetahuan dan pengalamannya dia dengan trampil membatu proses persalinan banyak bayi. Bidan tersebut dapat mengetahui apakah yang ada dalam kandungan betul-betul bayi ataukah tumor, sehingga dia dapat menyarankan untuk diberi ”ramuan” untuk membuat bayi sehat dan selamat atau justru untuk membuat cacat bahkan sampai digugurkan. Bidan tersebut meski tidak mengandung, tapi bisa dengan tepat memperhitungkan kapan bayi akan lahir. Apa yang akan dilakukannya ketika bayi lahir sudah tergambar jelas di dalam otaknya.

Menjadi master konflik tidak harus membuat konflik yang murni dia mulai, karena akan cenderung beresiko. Dia akan lebih trampil untuk melihat gejala-gejala yang potensial untuk dibantu ”persalinannya” menjadi konflik. Yang harus diperhatikan adalah motivasi master konflik dalam membantu persalinan tersebut. Konflik itu sendiri tidak serta merta jelek, seperti halnya bayi lahir ke dunia kita tidak sepenuhnya tidak semuanya baik. Apakah orangtua Adolf Hitler atau bidan yang membantu persalinnya dulu akan menjadi seorang diktator dan mesin pembunuh?

IV. PENUTUP

Menjadi master konflik merupakan suatu panggilan. Sepertihalnya seorang yang bekerja secara profesional kemampuanya itu tidak diperoleh begitu saja tapi dengan cara berlatih. Semua profesi, tanpa terkecuali selalu mengandung dua sisi yang bertolak belakang, faktor yang menjadi penentu atau pengendali adalah hati nurani (iman). Untuk menjadi master konflik, selain dia belajar belajar (skill of mastering to the conflict ), maka dia juga harus mempunyai sumberdaya yang cukup, mulai dari materi, jejaring, teknologi dan informasi, dan instrumen formal. Ketika skill yang dikembangkan tidak didukung oleh sumberdaya tersebut maka dia hanya akan menjadi pengamat, negosiator atau mediator. Sekali lagi motivasi menjadi seorang master konflik perlu dipergumulkan secara mendalam dan sungguh-sungguh. Kiranya berkat, karunia yang diberikan kepada kita dapat kita gunakan sesuai dengan tugas dan panggilan kita.

V. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Manajemen Konflik. Materi Pelatihan Letrampilan Manajerial SPMK.

http://www.kmpk.ugm.ac.id/data/SPMKK/4e-MANAJEMEN%20KONFLIK(revJan’03).doc

Dana, Daniel. 2006. Resolusi Konflik : Alat Bantu Mediasi untuk Kehidupan Kerja Seghari-hari. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.

Winardi. 1994. Manajemen Konflik : Konflik Perubahan dan Pengembangan. Penerbit Mandar Maju. Bandung.


[1] Baca : lembaga kemahasiswaan

 

[2] Menurut Daniel Dana (2006), konflik intrapersonal belum dikategorikan sebagai konflik karena tidak memenuhi ketiga unsur konflik.

[3] Keinginan untuk memenuhi minat sendiri.

[4] Keinginan untuk memenuhi kebutuhan pihak lain.

[5] Ingat 8 kebiasaan manusia yang sangat efektif (Stephen Covey) tentang sikap

[6] Baca penonton olahraga sepak bola