Monthly Archives: April 2011
Merokok di Dalam Menara Gading
engan bermodalkan segelas kopi yang dibungkus plastik, saya dan Satria meluncur ke Kapel UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana), memenuhi undangan teman-teman dari SMUTI (Solidaritas Mahasiswa Untuk Tembakau Indonesia). Niatnya membeli segelas kopi biar bisa ngopi dan merokok sambil diskusi, namun karena saya baru tahu tempat diskusinya di Kapel setelah membeli kopi, akhirnya bungkusan kopi tersebut saya tenteng aja. Tidak lazim diskusi di Kapel yang biasanya dipakai untuk persekutuan doa, hal ini menurut saya sungguh suatu fenomena yang menarik. Biasanya dari Kapel atau Gereja cenderung untuk menyuarakan gerakan anti rokok, namun kali ini justru akan membahas mengenai tembakau Indonesia. Setiba disana sudah ada lebih dari 40 orang memadati kapel, terdiri atas mahasiswa UKSW, AMA dan STAIN Salatiga. Kunjungan saya kali ini bukan untuk persekutuan doa seperti dahulu tapi untuk mengikuti diskusi tentang nasib tembakau Indonesia.
Baru di pertengahan diskusi saya baru tahu kalau penyelenggara kegiatan tersebut bukan SMUTI melainkan LK (Lembaga Kemahasiswaan) UKSW. Awalnya saya kira penyelanggara kegiatan tersebut adalah SMUTI, karena yang mengundang saya adalah SMUTI. Begitu datang, saya coba menyimak arah pembicaraan, yang kemudian saya perhatikan diskusi kali ini sangat tidak terarah. Gatot dan Sonde mencoba memberikan penjelasan tentang duduk perkara pertembakauan di Indonesia, khususnya menyangkut akan diberlakukannya Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan, yang sementara ini masih dalam rancangan. Peserta banyak yang kebingungan demikian juga moderatornya. Sampai akhirnya Roy menanyakan tentang tujuan dari diskusi ini? Lupa persisnya apa yang disampaiakan Roy. Sekali lagi moderator bingung.
Kebingungan tersebut secara eksplisit terungkap ketika salah seorang peserta diskusi mengatakan “saya bingung, saya belum membaca RUU ataupun SKB (Surat Keputusan Bersama) dua menteri terkait tembakau, juga panitia tidak menyediakan hard copy SK tersebut” Yakub Adi Krisanto langsung menanggapi pernyataan salah seorang peserta diskusi tersebut dengan nada yang sedikit lebih tinggi. Dia mengkritik bahwasanya teman-teman mahasiswa semestinya telah terlebih dahulu membaca materi diskusi sebelum menghadiri diskusi. Dengan demikian datang diskusi tidak dengan pikiran kosong yang hanya akan memancing perdebatan retoris. Sungguh kebiasaan yang kurang baik bagi mahasiswa.
Pejabat LK UKSW yang juga hadir pada kesempatan itu, mencoba menengahi bahwa melalui diskusi kali ini perlu berbagai tahapan, perlu kajian-kajian lebih jauh. Belum selesai menyampaikan tanggapan Yakub kembali menyela, bahwa pernyataan yang disampaikan pejabat LK tersebut justru membawa peserta diskusi kembali ke awal pembahasan. Mengingat yang bersangkutan datang terlambat, sementara itu peserta diskusi cukup gemas dengan jalanya diskusi yang muter-muter dan terkesan tidak ada kesiapan LK UKSW sebagai penyelanggara.
Saya coba memberi tanggapan, bahwa melalui diskusi kali ini teman-teman mahasiswa menjadi lebih peduli dengan nasib petani tembakau, buruh pabrik rokok dan pedagang eceran. Bukannya menuntut hak untuk tetap dapat merokok di dalam kampus, karena jika DPRD ikut meratifikasi SKB dua menteri dan membuat perda maka akan diberlakukan Kawasan Bebas Rokok (KBR). Daerah yang ditetapkan sebagai KBR adalah fasilitas kesehatan, kendaraan umum dan fasilitas pendidikan termasuk kampus. Rasanya aneh dan terlalu manja mahasiswa berdiskusi untuk menolak RUU dan SKB tentang tembakau karena ingin mendapatkan kebebasan merokok di kampus. Sementara itu nasib ribuan petani tembakau, buruh pabrik rokok dan pedagang eceran ada di ujung tanduk. Jika benar RUU tersebut akan diberlakukan, bagaimana dengan nasib mereka?
Debat?
Belum juga terjawab mengenai arah dan tujuan diskusi ini, moderator justru melemparkan ke forum. Beberapa peserta diskusi mencoba terlibat dalam perdebatan, seperti telah diatur oleh panitia terdapat label PRO dan KONTRA pada kedua sisi dinding Kapel yang berhadapan. Peserta diskusi terjebak pada perdebatan mengenai boleh atau tidaknya merokok, manfaat atau bahaya merokok. Sungguh fenomena yang sangat menyedihkan. Niatnya mungkin baik, akan meniru gaya debat yang diselengarakan di stasiun TV swasta. Sebagai bagian proses pendidikan teknik debat mungkin perlu, namun dalam konteks perjuangan SMUTI saya kira outputnya bukan masalah siapa menang atau kalah dalam adu argumentasi.
Debat, belakangan menjadi cukup populer dikalangan dunia pendidikan tinggi. Selain menjadi kebanggaan bagi para peserta debat juga menjadi kebanggaan bagi perguruan tinggi yang mengirimkannya, terlebih menang. Sungguh suatu metode yang cukup efektif untuk membuktikan penguasaan konsep, ketajaman untuk menganalisis dan mematahkan argumen lawan, mempertahankan argumen dengan meyakinkan. Metode ini mengikuti aturan oposisi biner, akan ada yang menang dan kalah. Jika dalam diskusi di SMUTI menggunkan metode ini maka akan ada pihak yang menang juga ada yang kalah, dengan kata lain sudah ada perpecahan sedikit orang yang peduli terhadap tembakau Indonesia. Selain itu hasil perdebatan akan dibawa kemana?
Sudah sepantasnya teman-teman SMUTI menggunakan cara yang lebih kolaboratif daripada kompetitif. Diskusi bukan untuk diskusi saja, namun untuk ditindaklanjuti dan ada solusi. Hal yang paling realistis adalah bagi para perokok tidak perlu bersikeras dengan merokok dapat memberi manfaat, benar bahwa merokok itu memang hak. Lebih dari itu para perokok harusnya bisa menunjukkan kehidupan, kontribusi pemikiran dan tindakan yang lebih positif dari non perokok, jika memang merokok memberi manfaat. Para perokok harus bisa memancing simpati non perokok untuk ikut serta dalam perjuangan SMUTI. Tujuan dari SMUTI adalah untuk memastikan jaminan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik jika diberlakukan RUU tembakau, khususnya petani tembakau, buruh pabrik rokok dan pedagang eceran.
Mendesak Pemerintah!
Penolakkan terhadap RUU tembakau tanpa solusi dan aksi, maka tidak ada bedanya antara mahasiswa dan rakyat jelata. Fokus terhadap penolakkan hanyak akan menempatkan mahasiswa pada posisi konfrontatif dengan pemerintah, dalam situasi sekarang ini strategi demikian kurang menguntungkan. Meskipun tidak konfrontatif bukan berarti kita menurut saja dengan pemerintah, ingat jangan terjebak pada paradigma oposisi biner seperti pada debat. Teman-teman SMUTI bisa mendesak pemerintah untuk melakukan segenap akselerasi sebelum RUU tembakau diberlakukan. Akselerasi tersebut diantaranya adalah pemerintah menjamin kesejahteraan petani tembakau dengan menyelenggarakan program konversi atau reduksi tanaman tembakau dengan lebih serius. Program konversi tersebut tentunya dengan mempertimbangkan nilai ekonomis, nilai ekologis dari tanaman pengganti tembakau lengkap mulai dari bibit, tenaga ahli dan sistem pemasarannya. Jika pemerintah berani menjamin maka pemberlakuan RUU tembakau dapat dipertimbangkan.
Masih terdapat dua kelompok masyarakat yang dapat terkena imbas RUU tersebut, yaitu buruh pabrik rokok dan pedagang eceran. Untuk itu teman-teman SMUTI dapat mendesak pemerintah untuk membangun lapangan usaha baru, serta pemberian ketrampilan tambahan bagi para buruh rokok. Pemerintah harus berani menjamin bahwa semua buruh pabrik rokok akan difasilitasi dan mendapat pekerjaan baru yang layak. Resiko berkurangnya pendapatan pedagang rokok eceran juga harus menjadi perhatian serius pemerintah, setidaknya perlu untuk diperhatikan mengenai kelayakan tempat dan lokasi dagangan yang lebih strategis.
Pusat Studi Tembakau dan Aksi Pendampingan
Jaminan kesejahteraan atas petani tembakau, buruh pabrik rokok dan pedagang ecerantersebut dialamatkan kepada pihak pemerintah, namun demikian segenap mahasiswa dari masing-masing kampus dapat mendesak pihak rektorat untuk membuat pusat studi tembakau. Pusat studi ini merupakan pusat studi interdisipliner, bukan hanya melakukan penelitian terkait budidaya tembakau, tapi juga terkait masalah hukum dan sosial ekonominya. Output dari penelitian tersebut bukan sekedar menjadi laporan kerja penelitian, namun harus memberi manfaat nyata bagi petani tembakau, buruh rokok dan pedaganag eceran. Tanggungjawab yang tidak kalah pentingnya adalah penelitian terkait pengurangan efek membahayakan dari rokok.
Sembari pemerintah melakukan proses akselerasi, didukung dengan penelitian dari lembaga pendidikan, teman-teman mahasiswa dapat ikut berperan aktif sebagai relawan dalam penelitian tersebut. Lebih jauh jika memang teman-teman mahasiswa merasa punya kepedulian lebih dapat melakukan aksi pendampingan langsung terhadap komunitas petani, buruh pabrik dan pedagang eceran. Jika teman-teman mahasiswa mau dan mampu untuk melakukan aksi pendampingan ini, maka tidak perlu untuk takut lagi untuk dikatakan bersembunyi dalam menara gading. Apalagi menuntut hak agar dapat merokok di dalam menara gading.
Konflik Noborejo (SPBE): Pendekatan Kultural
enin pagi, 11 Maret 2011. Yoga Prasetya, ketua panitia Diskusi Ilmiah : Bedah Kasus Noborejo (SPBE), menghubungi saya hanya setengah jam sebelum acara dimulai, untuk menjadi moderator dalam acara tersebut. Hadir sebagai narasumber Priyo Nugroho (Asisten I) mewakili Pemerintah Kota Salatiga, Nick Tunggul Wiratmoko dari LSM Percik. Sangat disayangkan Muh Nas’at perwakilan dari masyarakat Noborejo yang sedianya hadir, membatalkan kedatangannya pada beberapa menit sebelum acara dimulai, karena ada keluarganya yang sakit. Meskipun narasumber perwakilan dari masyarakat Noborejo tidak hadir, namun masih ada beberapa masyarakat Noborejo yang hadir sebagai peserta diskusi.
Diskusi ini diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSW sebagai tanggungjawab sosial menjalankan fungsi Tri Darma Perguruan Tinggi. Inisiatif ini patut diacungkan jempol mengingat perkembangan kasus ini mengalami kebuntuan, karena komunikasi antar pihak pemangku kepentingan tidak berjalan mulus. Seperti diberitakan oleh Scientiarum, masalah SPBE sudah mengemuka sejak pertengahan 2010, masyarakat Noborejo yang tergabung dalam Fokermapa (Forum Kerukunan Masyarakat Pamot) bahkan sudah melakukan beberapa kali unjuk rasa. Pertama mereka unjuk rasa di depan SPBE PT CRI pada 19 Juli 2010, kedua di depan SPBE PT CRI (Capital Realm Indonesia) dan di halaman kantor Wali Kota Salatiga pada 5 Agustus 2010.
Awal penolakan masyarakat Noborejo adalah adanya kekhawatiran jika terjadi ledakan di SPBE (Stasiun Pengisian Bulk Elpiji) yang telah selesai dibangun, dengan kapasitan 36 ton. Mereka membandingkan bahwa dengan ukuran 3 kg saja sudah mampu meledakkan rumah bagaimana dengan yang 36 ton? Maklum saat itu lagi kencang-kencangnya pemberitaan tentang seringnya kasus ledakan gas elpiji 3 kg. Meskipun secara teknis dari pihak Pertamina memastikan bahwa konstruksi SPBE tersebut telah memenusi standar keselamatan namun warga masih menolak keberadaan SPBE tersebut. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan, disinyalir ada manipulasai tanda tangan terkait pengurusan pendirian SPBE tersebut. Sejauh ini warga belum dapat membuktikan hal ini, mengingat pihak pengusaha ataupun pemerintah tidak dapat menunjukkan secara terbuka dokumen perijinan tersebut, meskipun sudah ada undang-undang mengenai trasnparansi informasi publik.
Berkali-kali pertemuan telah diadakan, namun selalu saja tidak membuahkan hasil. Barangkali masing-masing pihak sudah cukup jenuh, terjebak dengan stigma masing-masing. Analisis yang berkembang lebih banyak menggunakan pendekan sosiologis, demikian juga upaya untuk menyelesaikan lebih kepada pendekatan formal, struktural. Saya rasa kondisi semacam ini bukan hanya di Noborejo, dalam banyak kasus perselisihan antara masyarakat dan pengusaha hampir selalu upaya penyelesaiannya dengan pendekatan struktural. Biasanya masyarakat cenderung akan menjadi korban, sementra jika dikemudian hari ditemukan masalah yang lebih besar pemerintah hanya bisa menyalahkan pihak pengusaha. Bisa jadi saya salah dalam hal ini.
Konflik seperti di Noborejo sebenarnya tidak perlu terjadi, jika pihak pengusaha dan pemerintah juga mengindahkan nilai kultural yang berkembang di masyarakat. Upaya pembangunan yang diselenggarakan pemerintah dengan menggandeng pihak investor tentulah mempunyai niat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam prakteknya upaya tersebut terkadang justru menuai perselisihan, masyarakat yang dianggap kurang terpelajar dan tidak siap dengan pembangunan, akan menjadi korban. Ketika permasalahan sudah berkepanjangan ditambah kejenuhan para aktor akibat akumulasi beban psikologis maka ruang-ruang pertemuan formal nyaris tidak akan membuahkan hasil. Tidak ada jalan lain, selain pendekatan kultural. Pendekatan hukum pasti akan menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang dan pihak lain sebagai yang kalah.
Cerita dari Desa
Terkait pendekatan kultural, saya teringat cerita orang-orang tua di kampung saya, di Desa Reco. Sama seperti nama kampung, di desa saya terdapat banyak arca. Oleh pihak keraton waktu itu arca diminta, namun demikian sebelum diambil beberapa kali pihak keraton datang ke desa untuk rasan-rasan (pembicaraan dari hati ke hati dengan mengedepankan rasa). Menurut cerita, tidak ada warga yang keberatan dengan hal itu namun karena arca-arca tersebut merupakan warisan dari leluhur,sehingg mereka terlebih dahulu mengadakanbersama. Pada saat hari yang sudah ditentukan salah seorang pembesar keraton hadir dan menyampaikan maksudnya baik-baik. Cerita datangnya pembesar keraton ke Desa kami, menjadi cerita yang membanggakan bagi warga desa kami, saat itu. Dari keraton mana? Siapa nama pembesar itu? Untuk tujuan apa arca-arca itu diambil dan dibawa kemana? Saya tidak tahu, tidak cukup informasi tentang hal itu.
Berdasarkan penggalan cerita dari Desa saya tersebut terlihat adanya upaya pendekatan dari pihak pemerintah (utusan dari keraton) yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada di Desa. Warga desa yang sebenarnya tidak mempermasalahkan jika memang arca tersebut dikehendaki oleh pihak kraton, namun demikian mereka pihak keraton bersama dengan warga bersama-sama mengadakan selamatan. Rasan-rasan yang dilakukan oleh pihak keraton menunjukkan adanya kedekatan dan penghormatan yang tinggi dengan warga Desa, dengan kata lain dimanusiakan. Tentunya substansi dan kemasan dari rasan-rasan akan berbeda jauh dengan forum sosialisasi yang biasanya dipakai oleh pemerintahan jaman sekarang. Dengan cara demikian terlihat adanya usaha untuk berkomunikasi dari hati ke hati bukan sekedar melakukan segala sesuatunya karena ‘paksaan’ struktural melalui RT, RW, Lurah, Camat dan seterusnya.
Jalur formal dan struktural, seperti syarat dokumen perijinan, pelibatan apartur pemerintahan Desa dan masyarakat tentunya memang harus dilakukan namun juga harus mengindahkan nilai-nilai lokalitas. Sepertinya pemerintah jaman sekarang sudah lupa atau mungkin tidak terbiasa lagi melakukan hal itu. Tidak bisa disalahkan begitu saja, orang-orang yang duduk dalam pemerintahan juga warga masyarakat dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat kita sudah kehilangan sense of culture. Menjaga dan mengembangkan budaya lokal bukan dimaknai pada keseniannya saja, namun pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat untuk menjaga nilai-nilai yang menjaga kehidupan mereka dengan harmonis. Pemerintah dan pengusaha yang biasanya lebih ‘berkepentingan’ mau tidak mau harus lebih sadar akan kemendesakkan ini. Jauh-jauh hari sebelum segala sesuatu dengan label ‘pembangunan’ dilaksanakan mereka harus turun ke bawah (masyarakat) untuk rasan-rasan.
Aneh jika pemerintah harus turun kebawah, karena yang perlu turun ke bawah berarti bukan sedang berada dibawah. Dengan demikian demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat patut dipertanyakan?