Monthly Archives: April 2011

Merokok di Dalam Menara Gading

D

engan bermodalkan segelas kopi yang dibungkus plastik, saya dan Satria meluncur ke Kapel UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana), memenuhi undangan teman-teman dari SMUTI (Solidaritas Mahasiswa Untuk Tembakau Indonesia). Niatnya membeli segelas kopi biar bisa ngopi dan merokok sambil diskusi, namun karena saya baru tahu tempat diskusinya di Kapel setelah membeli kopi, akhirnya bungkusan kopi tersebut saya tenteng aja. Tidak lazim diskusi di Kapel yang biasanya dipakai untuk persekutuan doa, hal ini menurut saya sungguh suatu fenomena yang menarik. Biasanya dari Kapel atau Gereja cenderung untuk menyuarakan gerakan anti rokok, namun kali ini justru akan membahas mengenai tembakau Indonesia.  Setiba disana sudah ada lebih dari 40 orang memadati kapel, terdiri atas mahasiswa UKSW, AMA dan STAIN Salatiga. Kunjungan saya kali ini bukan untuk persekutuan doa seperti dahulu tapi untuk mengikuti diskusi tentang nasib tembakau Indonesia.

Suasana Diskusi di Kapel UKSW tentang Tembakau Indonesia

Baru di pertengahan diskusi saya baru tahu kalau penyelenggara kegiatan tersebut bukan SMUTI melainkan LK (Lembaga Kemahasiswaan) UKSW. Awalnya saya kira penyelanggara kegiatan tersebut adalah SMUTI, karena yang mengundang saya adalah SMUTI. Begitu datang, saya coba menyimak arah pembicaraan, yang kemudian saya perhatikan diskusi kali ini sangat tidak terarah. Gatot dan Sonde mencoba memberikan penjelasan tentang duduk perkara pertembakauan di Indonesia, khususnya menyangkut akan diberlakukannya Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan, yang sementara ini masih dalam rancangan. Peserta banyak yang kebingungan demikian juga moderatornya. Sampai akhirnya Roy  menanyakan tentang tujuan dari diskusi ini? Lupa persisnya apa yang disampaiakan Roy. Sekali lagi moderator bingung.

Kebingungan tersebut secara eksplisit terungkap ketika salah seorang peserta diskusi mengatakan “saya bingung, saya belum membaca RUU ataupun SKB (Surat Keputusan Bersama) dua menteri terkait tembakau, juga panitia tidak menyediakan hard copy SK tersebut” Yakub Adi Krisanto langsung menanggapi pernyataan salah seorang peserta diskusi tersebut dengan nada yang sedikit lebih tinggi. Dia mengkritik bahwasanya teman-teman mahasiswa semestinya telah terlebih dahulu membaca materi diskusi sebelum menghadiri diskusi. Dengan demikian datang diskusi tidak dengan pikiran kosong yang hanya akan memancing perdebatan retoris. Sungguh kebiasaan yang kurang baik bagi mahasiswa.

Pejabat LK UKSW yang juga hadir pada kesempatan itu, mencoba menengahi bahwa melalui diskusi kali ini perlu berbagai tahapan, perlu kajian-kajian lebih jauh. Belum selesai menyampaikan tanggapan Yakub kembali menyela, bahwa pernyataan yang disampaikan pejabat LK tersebut justru membawa peserta diskusi kembali ke awal pembahasan. Mengingat yang bersangkutan datang terlambat, sementara itu peserta diskusi cukup gemas dengan jalanya diskusi yang muter-muter dan terkesan tidak ada kesiapan LK UKSW sebagai penyelanggara.

Saya coba memberi tanggapan, bahwa melalui diskusi kali ini teman-teman mahasiswa menjadi lebih peduli dengan nasib petani tembakau, buruh pabrik rokok dan pedagang eceran. Bukannya menuntut hak untuk tetap dapat merokok di dalam kampus, karena jika DPRD ikut meratifikasi SKB dua menteri dan membuat perda maka akan diberlakukan Kawasan Bebas Rokok (KBR). Daerah yang ditetapkan sebagai KBR adalah fasilitas kesehatan, kendaraan umum dan fasilitas pendidikan termasuk kampus. Rasanya aneh dan terlalu manja mahasiswa berdiskusi untuk menolak RUU dan SKB tentang tembakau karena ingin mendapatkan kebebasan merokok di kampus. Sementara itu nasib ribuan petani tembakau, buruh pabrik rokok dan pedagang eceran ada di ujung tanduk. Jika benar RUU tersebut akan diberlakukan, bagaimana dengan nasib mereka?

Debat?

Belum juga terjawab mengenai arah dan tujuan diskusi ini, moderator justru melemparkan ke forum. Beberapa peserta diskusi mencoba terlibat dalam perdebatan, seperti telah diatur oleh panitia terdapat label PRO dan KONTRA pada kedua sisi dinding Kapel yang berhadapan. Peserta diskusi terjebak pada perdebatan mengenai boleh atau tidaknya merokok, manfaat atau bahaya merokok. Sungguh fenomena yang sangat menyedihkan. Niatnya mungkin baik, akan meniru gaya debat yang diselengarakan di stasiun TV swasta. Sebagai bagian proses pendidikan teknik debat mungkin perlu, namun dalam konteks perjuangan SMUTI saya kira outputnya bukan masalah siapa menang atau kalah dalam adu argumentasi.

Debat, belakangan menjadi cukup populer dikalangan dunia pendidikan tinggi. Selain menjadi kebanggaan bagi para peserta debat juga menjadi kebanggaan bagi perguruan tinggi yang mengirimkannya, terlebih menang. Sungguh suatu metode yang cukup efektif untuk membuktikan penguasaan konsep, ketajaman untuk menganalisis dan mematahkan argumen lawan, mempertahankan argumen dengan meyakinkan. Metode ini mengikuti aturan oposisi biner, akan ada yang menang dan kalah. Jika dalam diskusi di SMUTI menggunkan metode ini maka akan ada pihak yang menang juga ada yang kalah, dengan kata lain sudah ada perpecahan sedikit orang yang peduli terhadap tembakau Indonesia. Selain itu hasil perdebatan akan dibawa kemana?

Sudah sepantasnya teman-teman SMUTI menggunakan cara yang lebih kolaboratif daripada kompetitif. Diskusi bukan untuk diskusi saja, namun untuk ditindaklanjuti dan ada solusi. Hal yang paling realistis adalah bagi para perokok tidak perlu bersikeras dengan merokok dapat memberi manfaat, benar bahwa merokok itu memang hak. Lebih dari itu para perokok harusnya bisa menunjukkan kehidupan, kontribusi pemikiran dan tindakan yang lebih positif dari non perokok, jika memang merokok memberi manfaat. Para perokok harus bisa memancing simpati non perokok untuk ikut serta dalam perjuangan SMUTI. Tujuan dari SMUTI adalah untuk memastikan jaminan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik jika diberlakukan RUU tembakau, khususnya petani tembakau, buruh pabrik rokok dan pedagang eceran.

Mendesak Pemerintah!

Penolakkan terhadap RUU tembakau tanpa solusi dan aksi, maka tidak ada bedanya antara mahasiswa dan rakyat jelata. Fokus terhadap penolakkan hanyak akan menempatkan mahasiswa pada posisi konfrontatif dengan pemerintah, dalam situasi sekarang ini strategi demikian kurang menguntungkan. Meskipun tidak konfrontatif bukan berarti kita menurut saja dengan pemerintah, ingat jangan terjebak pada paradigma oposisi biner seperti pada debat. Teman-teman SMUTI bisa mendesak pemerintah untuk melakukan segenap akselerasi sebelum RUU tembakau diberlakukan. Akselerasi tersebut diantaranya adalah pemerintah menjamin kesejahteraan petani tembakau dengan menyelenggarakan program konversi atau reduksi tanaman tembakau dengan lebih serius. Program konversi tersebut tentunya dengan mempertimbangkan nilai ekonomis, nilai ekologis dari tanaman pengganti tembakau lengkap mulai dari bibit, tenaga ahli dan sistem pemasarannya. Jika pemerintah berani menjamin maka pemberlakuan RUU tembakau dapat dipertimbangkan.

Masih terdapat dua kelompok masyarakat yang dapat terkena imbas RUU tersebut, yaitu buruh pabrik rokok dan pedagang eceran. Untuk itu teman-teman SMUTI dapat mendesak pemerintah untuk membangun lapangan usaha baru, serta pemberian ketrampilan tambahan bagi para buruh rokok. Pemerintah harus berani menjamin bahwa semua buruh pabrik rokok akan difasilitasi dan mendapat pekerjaan baru yang layak. Resiko berkurangnya pendapatan pedagang rokok eceran juga harus menjadi perhatian serius pemerintah, setidaknya perlu untuk diperhatikan mengenai kelayakan tempat dan lokasi dagangan yang lebih strategis.

Pusat Studi Tembakau dan Aksi Pendampingan

Jaminan kesejahteraan atas petani tembakau, buruh pabrik rokok dan pedagang ecerantersebut dialamatkan kepada pihak pemerintah, namun demikian segenap mahasiswa dari masing-masing kampus dapat mendesak pihak rektorat untuk membuat pusat studi tembakau. Pusat studi ini merupakan pusat studi interdisipliner, bukan hanya melakukan penelitian terkait budidaya tembakau, tapi juga terkait masalah hukum dan sosial ekonominya. Output dari penelitian tersebut bukan sekedar menjadi laporan kerja penelitian, namun harus memberi manfaat nyata bagi petani tembakau, buruh rokok dan pedaganag eceran. Tanggungjawab yang tidak kalah pentingnya adalah penelitian terkait pengurangan efek membahayakan dari rokok.

Sembari pemerintah melakukan proses akselerasi, didukung dengan penelitian dari lembaga pendidikan, teman-teman mahasiswa dapat ikut berperan aktif sebagai relawan dalam penelitian tersebut. Lebih jauh jika memang teman-teman mahasiswa merasa punya kepedulian lebih dapat melakukan aksi pendampingan langsung terhadap komunitas petani, buruh pabrik dan pedagang eceran. Jika teman-teman mahasiswa mau dan mampu untuk melakukan aksi pendampingan ini, maka tidak perlu untuk takut lagi untuk dikatakan bersembunyi dalam menara gading. Apalagi menuntut hak agar dapat merokok di dalam menara gading.

Konflik Noborejo (SPBE): Pendekatan Kultural

S

enin pagi, 11 Maret 2011. Yoga Prasetya, ketua panitia  Diskusi Ilmiah : Bedah Kasus Noborejo (SPBE), menghubungi saya  hanya setengah jam sebelum acara dimulai, untuk menjadi moderator dalam acara tersebut. Hadir sebagai narasumber Priyo Nugroho (Asisten I) mewakili Pemerintah Kota Salatiga, Nick Tunggul Wiratmoko dari LSM Percik. Sangat disayangkan Muh Nas’at perwakilan dari masyarakat Noborejo yang sedianya hadir, membatalkan kedatangannya pada beberapa menit sebelum acara dimulai, karena ada keluarganya yang sakit. Meskipun narasumber perwakilan dari masyarakat Noborejo tidak hadir, namun masih ada beberapa masyarakat Noborejo yang hadir sebagai peserta diskusi.

Upacara Selamatan

Diskusi ini diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSW sebagai tanggungjawab sosial menjalankan fungsi Tri Darma Perguruan Tinggi. Inisiatif ini patut diacungkan jempol mengingat perkembangan kasus ini mengalami kebuntuan, karena komunikasi antar pihak pemangku kepentingan tidak berjalan mulus. Seperti diberitakan oleh Scientiarum, masalah SPBE sudah mengemuka sejak pertengahan 2010, masyarakat Noborejo yang tergabung dalam Fokermapa (Forum Kerukunan Masyarakat Pamot) bahkan sudah melakukan beberapa kali unjuk rasa. Pertama mereka unjuk rasa di depan SPBE PT CRI pada 19 Juli 2010, kedua di depan SPBE PT CRI (Capital Realm Indonesia) dan di halaman kantor Wali Kota Salatiga pada 5 Agustus 2010.

Awal penolakan masyarakat Noborejo adalah adanya kekhawatiran jika terjadi ledakan di SPBE (Stasiun Pengisian Bulk Elpiji) yang telah selesai dibangun, dengan kapasitan 36 ton. Mereka membandingkan bahwa dengan ukuran 3 kg saja sudah mampu meledakkan rumah bagaimana dengan yang 36 ton? Maklum saat itu lagi kencang-kencangnya pemberitaan tentang seringnya kasus ledakan gas elpiji 3 kg. Meskipun secara teknis dari pihak Pertamina memastikan bahwa konstruksi SPBE tersebut telah memenusi standar keselamatan namun warga masih menolak keberadaan SPBE tersebut.  Penolakan tersebut bukan tanpa alasan, disinyalir ada manipulasai tanda tangan terkait pengurusan pendirian SPBE tersebut. Sejauh ini warga belum dapat membuktikan hal ini, mengingat pihak pengusaha ataupun pemerintah tidak dapat menunjukkan secara terbuka dokumen perijinan tersebut, meskipun sudah ada undang-undang mengenai trasnparansi informasi publik.

Berkali-kali pertemuan telah diadakan, namun selalu saja tidak membuahkan hasil. Barangkali masing-masing pihak sudah cukup jenuh, terjebak dengan stigma masing-masing. Analisis yang berkembang lebih banyak menggunakan pendekan sosiologis, demikian juga upaya untuk menyelesaikan lebih kepada pendekatan formal, struktural. Saya rasa kondisi semacam ini bukan hanya di Noborejo, dalam banyak kasus perselisihan antara masyarakat dan pengusaha hampir selalu upaya penyelesaiannya dengan pendekatan struktural. Biasanya masyarakat cenderung akan menjadi korban, sementra jika dikemudian hari ditemukan masalah yang lebih besar pemerintah hanya bisa menyalahkan pihak pengusaha. Bisa jadi saya salah dalam hal ini.

Konflik seperti di Noborejo sebenarnya tidak perlu terjadi, jika pihak pengusaha dan pemerintah juga mengindahkan nilai kultural yang berkembang di masyarakat. Upaya pembangunan yang diselenggarakan pemerintah dengan menggandeng pihak investor tentulah mempunyai niat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam prakteknya upaya tersebut terkadang justru menuai perselisihan, masyarakat yang dianggap kurang terpelajar  dan tidak siap dengan pembangunan, akan menjadi korban. Ketika permasalahan sudah berkepanjangan ditambah kejenuhan para aktor akibat akumulasi beban psikologis maka ruang-ruang pertemuan formal nyaris tidak akan membuahkan hasil. Tidak ada jalan lain, selain pendekatan kultural. Pendekatan hukum pasti akan menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang dan pihak lain sebagai yang kalah.

Cerita dari Desa

Terkait pendekatan kultural, saya teringat cerita orang-orang tua di kampung saya, di Desa Reco. Sama seperti nama kampung, di desa saya terdapat banyak arca. Oleh pihak keraton waktu itu arca diminta, namun demikian sebelum diambil beberapa kali pihak keraton datang ke desa untuk rasan-rasan (pembicaraan dari hati ke hati dengan mengedepankan rasa). Menurut cerita, tidak ada warga yang keberatan dengan hal itu namun karena arca-arca tersebut merupakan warisan dari leluhur,sehingg mereka terlebih dahulu mengadakanbersama. Pada saat hari yang sudah ditentukan salah seorang pembesar keraton hadir dan menyampaikan maksudnya baik-baik. Cerita datangnya pembesar keraton ke Desa kami, menjadi cerita yang membanggakan bagi warga desa kami, saat itu. Dari keraton mana? Siapa nama pembesar itu? Untuk tujuan apa arca-arca itu diambil dan dibawa kemana? Saya tidak tahu, tidak cukup informasi tentang hal itu.

Berdasarkan penggalan cerita dari Desa saya tersebut terlihat adanya upaya pendekatan dari pihak pemerintah (utusan dari keraton) yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada di Desa. Warga desa yang sebenarnya tidak mempermasalahkan jika memang arca tersebut dikehendaki oleh pihak kraton, namun demikian mereka pihak keraton bersama dengan warga bersama-sama mengadakan selamatan. Rasan-rasan yang dilakukan oleh pihak keraton menunjukkan adanya kedekatan dan penghormatan yang tinggi dengan warga Desa, dengan kata lain dimanusiakan. Tentunya substansi dan kemasan dari rasan-rasan akan berbeda jauh dengan forum sosialisasi yang biasanya dipakai oleh pemerintahan jaman sekarang. Dengan cara demikian terlihat adanya usaha untuk berkomunikasi dari hati ke hati bukan sekedar melakukan segala sesuatunya karena ‘paksaan’ struktural melalui RT, RW, Lurah, Camat dan seterusnya.

Jalur formal dan struktural, seperti syarat dokumen perijinan, pelibatan apartur pemerintahan Desa dan masyarakat tentunya memang harus dilakukan namun juga harus mengindahkan nilai-nilai lokalitas. Sepertinya pemerintah jaman sekarang sudah lupa atau mungkin tidak terbiasa lagi melakukan hal itu. Tidak bisa disalahkan begitu saja, orang-orang yang duduk dalam pemerintahan juga warga masyarakat dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat kita sudah kehilangan sense of culture. Menjaga dan mengembangkan budaya lokal bukan dimaknai pada keseniannya saja, namun pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat untuk menjaga nilai-nilai yang menjaga kehidupan mereka dengan harmonis. Pemerintah dan pengusaha yang biasanya lebih ‘berkepentingan’ mau tidak mau harus lebih sadar akan kemendesakkan ini. Jauh-jauh hari sebelum segala sesuatu dengan label ‘pembangunan’ dilaksanakan mereka harus turun ke bawah (masyarakat) untuk rasan-rasan.

Aneh jika pemerintah harus turun kebawah, karena yang perlu turun ke bawah berarti bukan sedang berada dibawah. Dengan demikian demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat patut dipertanyakan?

Kronik Tuhan (Ngawurontologi)

A

palah makna kehidupan ini, jika sistem kepercayaan yang ada sekarang menjadi tidak ada? Apakah surga dan neraka juga ikut hilang? Bagaimana nasib manusia setelah mati? Pertanyaan ini tidak perlu disangkut pautkan dengan agama tertentu, karena pertanyaan ini sudah ada jauh sebelum agama-agama modern berkembang. Pada dasarnya hal itu merupakan pertanyaan eksistensial. Sistem kepercayaan pada dasarnya merupakan serangkaian kompleksitas akibat ketidakmampuan manusia memahami realitas hidup dan mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial tersebut.

Pertanyaan eksistensial yang paling awal yang diajukan adalah apa/siapakah yang menciptakan kehidupan? Apakah tujuan dari hidup? Bagaimana atau kemana setelah kehidupan ini? Karena ketidakmampuan tersebut, manusia kemudian menjadi takut dan khawatir. Karena rasa tersebut membuat manusia tidak nyaman, maka untuk mengobatinya diperlukan sesuatu Yang Maha, yang sekiranya mempunyai kemampuan untuk mengambil rasa takut dan khawatir dari setiap orang. Jika Yang Maha tersebut mampu mengambil rasa takut dan khawatir dari semua orang tentulah Yang Maha tersebut juga yang memberi kehidupan. Sampai disinii manusia sudah berhasil menciptakan Tuhan bagi dirinya sendiri. Jejak penciptaan tersebut dapat dilihat pada beberapa kepercayaan tradisonal, dimana Tuhan diasosiasikan dengan rupa tertentu diluar dirinya seperti hewan, batu atau tumbuhan tertentu.

Lahirnya Sistem Kepercayaan

Menerawang pada kehidupan masa lalu, terfokus pada masa sebelum manusia mengenal tulisan, sebelum agama-agama modern berkembang. Kehidupan manusia saat itu masih begitu misterius, manusia baru saja belajar untuk memahami kehidupan dan fenomena alam. Perhatian kita tertuju pada sekelompok manusia yang hidup sebagai pemburu, sebut saja komunitas Lipe, dimana cerita tentang kehidupan dimulai. Hari-hari mereka dihabiskan dengan berburu, karena bergitu seringnya berburu masing masing mendapatkan pengalaman dalam berburu. Sampai suatu ketika seorang diantara mereka sebut saja Odom mengalami pengalaman yang luar biasa ketika berburu binatang tertentu (banteng). Entah bagaimana, banteng yang seharusnya mati terkena tombaknya namun malah justru menyelamatkan orang tersebut ketika terjatuh saat mengejar si banteng. Cerita yang luar biasa tersebut dengan cepat tersebar ke seluruh orang-orang Lipe. Semenjak saat itu manusia tidak lagi memburu banteng.

Tempat dimana orang-orang Lipe menetap memang secara ekologis sangat mendukung bagi kelangsungan komunitas karena melimpahnya makanan. Teluk dengan banyak sungai yang bermuara menyebabkan daerah tersebut dihuni berbagai jenis ikan, dengan demikian juga memancing kehadiran hewan-hewan pemangsa ikan, begitu seterusnya. Melewati periode waktu yang cukup lama, nyaris tidak ada yang berubah, namun karena pertambahan populasi orang-orang Lipe permasalahan menjadi semakin kompleks. Demikian dekatnya hubungan orang-orang Lipe dengan kawanan banteng, membuat peluang persinggungan antara manusia dan banteng menjadi cukup tinggi. Benar sekali, generasi selanjutnya mengalami seperti yang dialami oleh Odom. Merurut mereka hal ini bukan suatu kebetulan, oleh karena itu mereka  bersepakat untuk benar-benar tidak berburu banteng, takut kuwalat. Lebih lanjut mereka mengagung-agungkan banteng menjadi simbol dari komunitasnya. Simbol itu mereka pakai sebagai kebanggaan, termasuk saat berperang memepertahankan daerah mereka dari serbuan kelompok lain. Secara kebetulan peperangan demi peperangan mereka menangkan, dengan demikian banteng tersebut menjadi begitu diagungkan, bukan lagi sebatas simbol bagi orang Lipe namun juga simbol kejayaan mereka. Demikin selanjutnya banteng sudah menjadi seperti Tuhan bagi mereka.

Dalam interaksi antara manusia dengan hewan, sebenarnya bukan hanya dengan banteng. Tidak menutup kemungkinan orang-orang Lipe juga mempunyai pengalaman yang luar biasa dengan hewan lainya. Namun oleh karena berbagai hal hewan tersebut tidak dituhankan sebagaimana banteng, karena sudah ada kesepakatan tentang Tuhan mereka. Oleh karena itu jika memang harus ber-Tuhan haruskah kita mengambil kesepakatan?

Apakah Tuhan Ada atau Tidak Ada?

Sistem kepercayaan yang membangun asumsi bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan itu diluar dirinya, terus berkembang sampai sekarang, menelusup dalam agama-agama modern. Asumsi tentang Tuhan itu Ada dan di luar diri manusia dibangun karena masing-masing dari kita tahu bahwa kita sungguh-sungguh tidak mampu. Pastilah kita bukan Tuhan, karena Tuhan Maha segala-galanya. Dalam situasi kepercayaan semacam demikian kita juga akan ikut menertawakan jika terdapat sistem kepercayaan tanpa Tuhan, atau mungkin kepercayaan bahwa Tuhan ada dalam dirinya. Silahkan tertawa, namun inggat langkah pertama bahwa kita harus berhenti merasa diri paling benar. Langkah kedua adalah jangan percaya begitu saja dengan apa yang kita percayai sekarang. Renungkanlah baik-baik apakah kita masih ingin menertawakan kepercayaan orang lain?

Kembali kepada komunitas orang Lipe. Dalam perkembangannya bukan hanya karena kalah perang saja, namun karena kondisi lingkungan yang semakin memburuk maka penyakit menyerang orang-orang Lipe. Banyak yang mati, tua, muda, pekerja maupun penjaga tidak ada kecuali. Hanya sebagian kecil yang selamat mereka kembali membangun kehidupan mereka dari awal. Orang Lipe yang tersisa menjadi bertanya-tanya, sepertinya Tuhan yang mereka harapkan bukanlah banteng? Kegelisahan melanda seluruh anggota dalam komunitas orang Lipe sekian lamanya, namun demikian mereka masih menggunakan banteng sebagai Tuhan sementara belum ada Tuhan yang baru.

Perang Saudara Atas Nama Kepercayaan yang Pertama

Lama orang Lipe hidup dalam kegelisahan, sampai suatu saat salah seorang diantara mereka (anggap saja namanya Tatu) mendapat sedikit pencerahan. Dengan tegas, di depan semua orang Lipe, Tatu mengatakan bahwa “Tuhan kita bukanlah banteng”. Pernyataan tersebut sontak membuat geger orang-orang Lipe, meskipun sejauh ini mereka juga memertanyakan ketuhanan si banteng, namun mereka diam saja. Ironisnya ketika Tatu  berani menyatakan keyakinannya di depan publik, mereka seperti mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan kekecewaan atas Tuhan mereka si Banteng, terhadap Tatu. Perdebatan sengit dimulai, Tatu dihujani dengan banyak pertanyaan, celakanya Tatu tidak siap dengan jawaban, Tatu hanya menjawab “pokoknya Tuhan kita bukan banteng”. Orang-orang Lipe sesungguhnya sama-sama mengalami krisis kepercayaan yang kronis,termasuk  Tatu. Sudah menjadi sifat asali manusia merasa khawatir dan takut, terlebih lagi ketika yang dituhankan oleh mereka disingkirkan bengitu saja. Sebagian diantara mereka kemudian mengecam habis-habisan apa yang dilakukan Tatu sebagai suatu tindakan yang sesat. Diangap sesat karena bertentangan dengan apa yang telah menjadi pesan para penatua, pendahulu mereka. Diam-diam Tatu juga mempunyai simpatisan, sampai akhirnya peperangan saudara atas nama kepercayaan tidak dapat dielakkan.

Singkat cerita peperangan di menangkan oleh Tatu dan para pendukungnya, karena mereka lebih siap dengan perubahan dan berbagai kemungkinan ke depan. Tatu kemudian diangkat sebagai pemimpin atas orang-orang Lipe. Sejauh ini mereka belum menemukan Tuhan baru, namun dalam kepemimpinan Tatu komunitas Lipe berkembang cukup baik. Semua orang Lipe taat, mereka takut bernasib sama dengan saudara-saudara mereka yang mati sia-sia karena mempertentangkan gagasan tentang Tuhan. Sederhananya meski tanpa Tuhan ternyata rasa takut dan kekhawatiran mereka sedikit berkurang. Rasa takut dan khawatir itu masih disebabkan karena belum mendapatkan jawab atas pertanyaan eksistensialnya masing-masing. Perlahan peran Tatu di dalam komunitas tersebut menggantikan posisi Tuhan yang sebelumnya dipegang oleh banteng.

Lahirnya Dinamisme

Cukup lama Tatu memimpin orang-orang Lipe. Suatu ketika Tatu meninggal, seluruh orang-orang Lipe merasa sangat kehilangan dan terpukul. Penguburan yang akbarpun dilaksanakan, seluruh warga Lipe terlibat dalam acara pemakaman tersebut. Di atas kuburan Tatu diletakan sebuah batu besar dan di ujung yang lain ditanami pohon. Pasca meninggalnya Tatu, orang-orang Lipe masih secara berkala mengunjungi makamnya. Meskipun Tatu sudah meninggal orang-orang masih suka berkeluh kesah kepadanya di depan batu kubur Tatu. Mereka menyampaikan keluh kesah layaknya seperti saat Tatu itu masih hidup. Kebiasan ini berlangsung terus sampai beberapa generasi, anak cucu mereka juga mendatangi batu kubur Tatu dan menyampaikan keluh kesahnya. Kebiasan mereka ternyata diketahui oleh salah seorang dari komunitas Imit, orang tersebut kemudian menceritakan kepada orang-orang di komunitasnya bahwa orang Lipe menyembah dan berdoa kepada batu. Orang-orang Imit yang kurang kreatif ini kemudian juga ikut-ikutan menyembah dan menyampaikan keluh kesah kepada batu. Ada sedikit perubahan, setidaknya perasaan khawatir dan takut orang-orang imit sedikit berkurang dibandingkan sebelum menyembah batu. Perasaan takut dan khawatir orang-orang Imit pada dasarnya sama dengan yang dialami oleh orang Lipe, yaitu ketidakmampuan menjawab pertanyaan eksistensial dan realitas hidup.

Varian Dinamisme

Gunung berapi yang kokoh berdiri membelakangi perkampungan orang Lipe dan orang Imit tiba-tiba meletus. Lahar dingin menyapu permukiman, orang-orang lari berhamburan menyelamatkan dirinya masing-masing. Batu-batu yang dituhankan mereka tak mampu berbuat banyak, ditelan longsoran lahar  dingin. Melihat kejadian itu dari kejauhan, orang-orang Imit yang selamat patah semangat, mereka memutuskan untuk mencari tempat hunian baru. Beberapa hari perjalanan, mereka tiba di daerah baru yang jauh dari gunung, dalam hamparan tanah datar yang cukup luas. Di daerah yang baru ini, mereka tetap menjalankan  bersama-sama berkumpul di depan sebuah batu, melakukan beberapa ritual untuk meminta ijin tinggal di daerah itu. Batu  itu jauh lebih besar dari batu yang mereka puja sebelumnya. Mereka kemudian menetap disitu dan memulai kehidupan baru.

Sementara itu, orang-orang Lipe yang selamat, mereka kembali ke pemukimannya yang lama di dekat teluk. Mereka mendapati batu kubur Tatu telah tertutup lahar dingin, beruntung pohon besar yang di dekatnya cukup kuat menahan lahar sehingga masih kokoh berdiri. Mereka berkumpul, menangis dan berteriak sekenanya. Lelah berkeluh kesah, mereka bersepakat untuk kembali memulai kehidupan di tempat yang lama, dengan segala kenangan orang-orang terdekatnya yang telah meninggal. Masih seperti sebelum letusan gunung berapi, mereka dengan rajin mengunjungi kubur Tatu, meski kini hanya tinggal Pohonnya saja yang menjulang. Tidak ada ganjalan sedikitpun dalam benak orang-orang Lipe menyampaikan keluh kesah di depan pohon itu. Bagi mereka di depan batu atau depan pohon sama saja, karena maksudnya mereka adalah kepada Tatu. Orang-orang Lipe untuk beberapa waktu menikmati masa damai, nyaris tidak ada pembaharuan hanya ada sedikit penyesuaian saja, mereka kini berkeluh kesah di depan pohon besar, bukan di batu lagi.

Lahirnya Animisme

Beberapa generasi berlalu, kembali gunung berapi meletus. Letusan kali ini jauh lebih besar, menutup teluk yang dihuni oleh orang Lipe, menyatukan dengan pulau yang ada diseberangnya. Setengah putus asa, orang-orang Lipe yang berhasil menyelamatkan diri, kembali berkumpul. Kali ini mereka benar-benar trauma dengan musibah yang menimpa, sehingga mereka memutuskan untuk mencari tempat yang baru. Berhari-hari berlayar mereka mendarat di sebuah hamparan tanah maha luas. Dengan segala keterbatasan, mereka memulai kehidupan baru di tanah ini. Tanah, air dan hewan-hewan di tanah yang baru ini nyaris tidak ada yang sama dengan di kampung halaman mereka yang tertimbun lahar panas. Beberapa biji-bijian yang mereka bawa ditanam di tanah yang baru itu, sebagian hidup dan sebagian lagi mati. Ada satu jenis bebijian yang dapat tumbuh dengan suburnya, yaitu biji Arici.

Di tempat yang baru ini, mereka tidak lagi menjumpai banteng, tidak pula pohon seperti yang ada di kubur Tatu. Meski demikian mereka masih percaya bahwa leluhurnya yang telah mati masih mau mendengar keluh kesahnya, seperti halnya leluhur mereka berkeluh kesah kepada Tatu. Generasi demi generasi berlalu di tanah yang baru. Cerita detail tentang Tatu menjadi sedikit kabur, yang mereka tahu bahwa Tatu adalah yang paling hebat dari semua leluhur atau apapun yang mereka ketahui. Orang-orang Lipe kini tidak lagi berkeluh kesah di depan batu atau pohon, mereka dapat melakukan kapanpun dan dimanapun, karena Tatu maha mendengar. Cerita indahnya kampung halaman mereka yang terdahulu terus ditularkan turun-temurun, mereka menyebutnya Omata atau rumah Tatu. Leluhur mereka diceritakan sangat cantik-cantik dan gagah, namun karena kejahatan mereka kemudian mereka dihukum oleh Tatu dan dibakar disuatu tempat yang  paling mengerikan yang disebut sebagai Omati. Kisah ini merupakan cara mereka mengenang leluhurnya, merupakan kiasan atas musibah gunung berapi yang menimpa mereka. Orang-orang tua sangat gemar menceritakan hal ini kepada anak-anaknya menjadi sebuah pelajaran moral. Jikalau mereka berbuat jahat maka mereka akan dibuang kedalam Omati, jika baik maka mereka akan hidup  bersama Tatu di Omata.

Dari Monoteistik ke Politeistik

Orang-orang Lipe bertambah cukup banyak setelah melewati beberapa generasi, dan kini mereka mendapatkan tantangan baru yaitu pertemuan dengan komunitas lain. Masyarakat zaman ini sudah cukup beradab, mereka lebih suka saling bertukar barang dengan komunitas lainnya daripada berperang. Komunitas yang baru ini oleh orang-orang Lipe disebut sebagai orang Polen, karena mereka punya banyak Tatu. Tidak banyak perselisihan diantara mereka, karena orang-orang Lipe sangat terbuka. Sementara itu orang-orang Polen secara teknologi lebih maju dan banyak memberikan perubahan dalam kehidupan masyarakat Lipe. Satu hal yang tidak disadari sepenuhnya oleh orang-orang Lipe, bahwa kepercayaan mereka kini dianggap sama saja dengan orang-orang Polen, hanya berbeda nama Tuhannya saja. Nama tokoh-tokoh penting yang telah meninggal dalam komunitas orang Lipe diangkat menjadi Tuhan kecil, dibawah pemerintahan Tatu. Dua kebudayaan berpadu membentuk suatu peradaban yang maju, kini mereka disebut sebagai orang Lipolen.

Ilmu pengetahuan, teknologi pertanian, pelayaran berkembang dengan sangat pesat. Kebudayaan orang lipolen mampu menghasilkan bangunan-bangunan yang megah dari batu. Era perdagangan dimulai, didukung dengan teknologi pelayaran yang maju, kini mereka mampu menjelajah samudra, bertemu dan berdagang dengan orang-orang dari peradaban lain, yaitu Negeri orang Nawan. Dibalik geliat kehidupan yang tampak, jauh di dalam lubuk hati orang Lipolen masih menyisakan kekosongan. Pertanyaan eksistensial yang pernah menghantui leluhur mereka kini mengemuka lagi, sebelumnya perhatian mereka tersita banyak untuk aktifitas ekonomi. Kini mereka kembali mempertanyakan tujuan hidupnya.

Gejolak di Negri Nawan membuat terlalu beresiko bagi orang Lipolen melakukan pelayaran kesana. Beberapa pedagang Nawan justru menjadi lebih sering mengunjungi negri  Lipolen, sebagian diantaranya kawin dan menetap di Lipolen. Sementara waktu tidak ada permasalahan yang berarti, tidak ada gejolak yang serius dalam perjumpaan dua kebudayaan di Lipolen.

Re-monoteistik dan Lahirnya Zaman (Agak) Baru

Untuk waktu yang cukup lama kebudayaan orang Nawan kemudian menjadi lebih  dominan atas Lipolen. Lama-kelamaan jumlah orang Lipolen yang mempercayai Tatu yang politeistik, semakin berkurang.  Entah untuk berapa lama? Bukan saya yang menentukan akhir cerita ini, kita masing-masing bisa ikut menentukan kelanjutan dari cerita ini. Setidaknya kita tahu bahwa dalam rentang waktu yang begitu panjang kehidupan manusia, mereka selalu bersemangat untuk melakukan perubahan, karena memang demikian adanya budaya selalu berubah dan berkembang. Selain karena berkembangnya nalar manusia, rasa ingin menjadi beda diantara sesamanya manusia memberi dorongan akan perubahan tersebut. Dorongan untuk (sedikit) berbeda dengan orang lain merupakan dorongan yang sangat naluriah, karena dengan perbedaan tersebut dimungkinkan untuk bisa mengenali diri dan orang lain. Bisa dibayangkan betapa kacaunya jika semua manusia menggunakan nama yang sama, itulah sebabnya mengapa perlu nama yang berbeda. Kalaupun ada nama yang sama dalam satu daerah, maka akan ditambahkan julukan tambahan kepada orang itu.

Pengenalan terhadap diri dan orang lain, membawa manusia pada pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan. Manusia mulai belajar mencari persamaan dari hal-hal yang berbeda, sekaligus mencari hal-hal yang beda dari berbagai hal yang sama. Dengan demikian perbedaan itu sangatlah esensial dalam kehidupan, karena dengan perbedaan maka mungkin untuk diupayakan meniadaan kekacauan. Bukankah agama juga dibangun atas asumsi untuk meniadakan kekacauan? Jika demikian adanya sudah seharusnya agama itu berbeda-beda, bisa jadi setiap orang berbeda. Jika agama harus satu dan sama, dengan sendirinya keberadaan dirinya sudah mengingkari tujuan awalnya. Apakah kita akan tetap memaksakan padangan ataupun kepercayaan orang lain agar sama dengan diri kita?

Ketidakmampuan untuk menghargai keperbedaan, membuat manusia terjebak dengan realitas semu yang kacau. Sudah barang tentu jika kita masih demikian maka kita akan tetap merasa takut dan khawatir, untuk kesekian kalinya manusia tidak mampu untuk menjawab pertanyaan eksistensialnya. Sampai disini, tanyakanlah pada diri sendiri apakah kita sudah menemukan jawabannya? Jangan kiranya menanyakan kepada saya atau siapapun. Jika kita masih bertanya, maka kita belum tahu, karena yang sudah tahu diam. Begitu juga Yang Maha Tahu, juga Maha Diam.

Akan tiba waktunya apa yang dipercayai orang-orang jaman sekarang ditinggalkan. Zaman yang baru tidaklah baru sama sekali, melainkan perkembangan dan modifikasi yang telah ada. Spirit zaman baru merupakan anti tesis dari zaman sebelumnya. Zaman ketika gagasan Tuhan belum ada melahirkan zaman ber-Tuhan. Zaman monoteistik melahirkan zaman politeistik, begitu seterusnya. Namun apakah manusia telah menemukan makna hidupnya?

Ini hanya dongeng (dipaido yo keneng), bisa diragukan dan dibantah.