Monthly Archives: January 2013

Lemah

http://diyanapermata.com/wp-content/uploads/2012/08/pertanian-materi-tanah-dan-pupuk1.jpgSakjerone aku makaryo ning tlatah Kalimantan kene, wis makaping-kaping anggonku nemoni wong-wong kang padha regejegan bab lemah. Ana kang njaluk dibalekke lemahe kang wus mbok dol, ana kang ngedol maneh lemah kang wus mbok dol, ana kang sejatine ora duwe lemah nanging ngaku-aku duwe lemah, ana kang nduwe lemah sethithik ngakune amba, ana sing maklari dol tinuku lemah nanging uga ngrangkep dadi keamanan njaluk jatah sasenan. Wis pokoke werna-werna perkara bab lemah.

Aku ora apan mbijeni endi bener endi luput, lumrahe wong padha perkaran kuwi ya padha ngaku benere dhewe-dhewe. Pantese negara Indonesia negara hukum, yo bab lemah kang ora bisa dirampungi nganggo cara damai, bisa kanthi jalur hukum. Ngotot-ngototan sinambi nyangking gaman ora ana paedahe, malah bisa nekake musibah tumrap awake dhewe lan wong liya.

Sawetara wektu aku ening, aku banjur kelingan ceritane simbahku bab lemah. Bab lemah iku ora kena kanggo sembarangan. Apa sebabe? Menungsa iku cikal bakale saka lemah, umpama sembarangan tumrap lemah iku uripe bakal kesiku merga ora eling saka apa sejatine awake dhewe.

Anggone ngupadaya lemah kuwi kudu kanthi gumolonging ati lan tenaga, kanthi khormat. Awit sangune wong urip kuwi isen-isene yo tentanduran kang thukul saka lemah. Semana uga banyu kang bisa nyegerke awak nalika kesel iku metune seka lemah, kang kanggo resik-resik awak uga kanggo ngombe.  Mula saka kuwi yen uripe kareben tansaya urip kudu njaga kang dipangan lan diombe, saya maneh kudu eling saka ngendi asale kuwi mau, iya kuwi saka lemah.

Dalaning urip iku padha okehe karo manungsane. Sanajan ta okeh, ewa semana kadang kala trep, wong siji karo sijine, nanging yo ora sekabehane. Pas dalan kang ora trep mau ora usah kanggo udur, kang nglakoni kudu padha bisa ngrumangsani tumindake dhewe-dhewe. Nyacat dalane wong liya kuwi mratandani dalan kang lagi dilakoni selenco, adoh saka karahayon. Narima kasunyatan urip kuwi kayadene sipate bumi, apik-elek, tuwa-enom, sugih-kere yen mati padha dene katampa lan nyawiji maneh dadi lemah. Mula saka iku kareben urip rahayu kuwi kudu bisa ngrumangsani lan narima kasunyatan urip. Minundhi, sungkem marang lemah ora mung sungkeme raga, nanging uga sumungkeming batin, sumeleh kaya sumelehing lemah.

Sakehing regejegan, padudon lan gotrah kuwi jalaran manungsa kelangan jati dirine. Rumangsane wong liya iku ora ana hubungane karo awake dhewe. Mula saka iku manungsa kadangkala tega milara lan sawiyah marang liyan. Tumindake manungsa kang kaya mau iku mratandani cethek nalar budine. Anggepe pulo-pulo kuwi lemah kang kapisah dening banyu. Sejatine lemah iku yo siji, nyawiji mung ketoke wae pinisah-pisah karo banyu. Semono uga manungsa, ketoke siji lan sijine pinisah-pisah, sejatine manungso iku nyawiji.

Sakdhuwur-dhuwure lemah kang awujud gunung, yen diparani tetep asor ing sak ngisore dlamakan sikil. Pribadine manungsa kang luhur nalar budine kuwi kaya dene gunung kang ketok seka kadohan meger-meger dhuwure yaiku kondhange parkayane, nanging umpama kepethuk iya ijeh andhap asor, ora gumedhe. Manungsa kang gumedhe sanajan ta wus kapileh dadi pangwasane praja, sejatine dudu manungsa kang patut dadi panutan lan pamomonging sapadha.

Iku kabeh piwulang lan piweling bab lemah, mula aja padha sak karepe dhewe. Dirasa, dieling-eling sak durunge tumindak, kareben urip rahayu, ora kesiku.

Tujuan Hidup

tujuan-hidupSatu pertanyaan ini yang cukup sering ditanyakan, bahkan mungkin oleh semua orang. Ditanyakan kepada dirinya sendiri ataupun orang lain. Bagi yang belum pernah mendapat pertanyaan tersebut, ketika ditanya oleh orang lain akan memerlukan waku bebera saat untuk menjawabnya. Bahkan ada yang masih belum bisa menjawab meski telah ditanyakan berulang-ulang.

Ketidakmampuan menjawab pertanyaan itu menyebabkan situasi kegalauan yang masing-masing orang kadarnya dapat berbeda-beda. Sebagian orang putus asa untuk menjawab pertanyaan itu, bikin pusing, katanya. Maunya terima jadi, biar tidak pusing. Ketidaktahuan atas tujuan hidup dapat menimbulkan sensasi keresahan, kekhawatiran, dan ketakutan.

Karena tidak mau ribet, terima jadi akhirnya hanya bisa meniru jawaban yang sementara itu ada, baik dari kata orang lain atau kata buku. Termasuk diantaranya buku dan kitab keagamaan. Orang-orang yang sudah mengetahui jawaban tersebut terlebih dahulu terkadang diagung-agungkan sebagai guru. Popularitas agama semakin meningkat, semakin memberikan keuntungan bagi aktor-aktor di dalamnya. Aktor-aktor agama yang telah mengetahui peran strategis agama kemudian secara masif menyebarluaskan pengaruhnya, yang pasti bukan tidak ada kepentingan dibalik itu. Selagi masih ada uang, kekuasaan di dalamnya, mungkin perlu berpikir ulang untuk mendapatkan jawaban atas tujuan hidup dari agama-agama.

Manusia mempunyai potensi luar biasa dalam dirinya, namun demikian menjawab pertanyaan atas tujuan hidupnya banyak yang menyerah dan sekedar mengikut saja. Sebagian diantaranya memang berusaha cukup keras sampai harus mencari dan membaca berbagai jenis kitab, serta berguru kepada sekian banyak orang. Selama proses tersebut justru ada yang mendapat ilmu yang lainnya, yang tidak sabar untuk segera menguji kemampuannya. Berlindung dibalik kata “nyimak” dan “mohon pecerahan” terkadang justru hanya sebagai umpan untuk memamerkan kemampuannya.

Pada dasarnya manusia tidak senang digurui, namun anehnya banyak yang suka menggurui. Meskipun tidak suka digurui, orang-orang rela berguru, dan suatu saat nanti juga dapat menggurui orang lain. Apakah tujuan hidup manusia hanya berguru untuk menggurui? Lebih enak tanpa guru tanpa murid. Guru tidak terbeban kalau yang diajarkannya tidak dimengerti oleh muridnya, dan muridnya tidak terbeban dikatakan salah dan bodoh oleh gurunya.

Orang beranggapan bahwa jika tanpa guru dan tanpa buku petunjuk orang akan tersesat? Justru karena ada guru dan buku petunjuk kita bisa tersesat. Karena tujuan kita telah terlebih dahulu ditetapkan oleh guru ataupun buku petunjuk tersebut. Jika kata guru atau buku petunjuk bahwa rahasia kehidupan itu tersembunyi di barat sana, maka ketika kita pergi ke timur, kita akan dikatakan tersesat. Bukan hanya itu, kita juga dapat merasa resah, khawatir dan takut.

Bayangkan kita tidak punya guru dan tidak ada buku petunjuk? Setiap jengkal langkah kita adalah langkah yang semakin mendekati pada tujuan hidup kita. Hal ini sudah pasti, karena hidup itu sendiri bergerak, kalau sudah tidak bergerak itu mati. Apakah kita akan dikatakan tersesat? Tidak perlu resah. khawatir dan takut, agar kita dapat hidup sehidup-hidupnya.

Ada orang-orang yang sudah cukup cerdas untuk mengajarkan tentang kehidupan, menjadi panutan banyak orang. Ucapannya ditulis dan dibukukan, bahkan mungkin jadi kitab. Namun suasana batinnya masih dilingkupi dengan rasa resah, takut dan khawatir. Resah kalau pengikutnya berkurang, takut kalau ternyata ada yang jauh lebih bisa menjelaskan tentang kehidupan, khawatir tidak bisa menjawab pertanyaan. Hal ini masih manusiawi, tidak harus seorang tokoh besar, manusia biasapun juga dapat merasakannya. Lebih disayangkan adalah kalau ada orang-orang yang resah bukan karena pergumulan batinnya, namun resah karena sikap dan pilihan hidup orang lain. Misalnya ketika ada orang lain memilih jalan ke timur, maka orang itu lekas marah dan segera mengatakan tersesat, beramai-ramai mengutuki dan melampiaskan amarah karena yang mereka anggap sebagai kebenaran adalah orang harus ke arah barat.

Agama sepertinya sangat diperlukan bagi orang yang belum mengembangkan potensi dirinya, sejauh itu pula masih akan ada proses berguru dan menggurui. Mengapa demikian? Karena hanya dalam proses pembelajaran agama beberapa pertanyaan menjadi tabu, potensi kita dibatasi hanya pada pengertian yang telah ditetapkan dan disepakati saja. Memang betul manusia ada batasnya, namun sangat disayangkan jika batasan tersebut hanya pada pertanyaan.

Tujuan hidup seseorang boleh lebih dari satu, boleh berubah-ubah. Jika saat ini ditanya mengenai tujuan hidup saya, maka akan saya jawab tujuan hidup saya adalah hidup sehidup-hidupnya. Kehidupan yang seperti apa itu? Adalah kehidupan yang kita jalani dengan cara-cara terbaik yang kita ketahui. Bukan semata-mata kata orang, kata buku atau kata guru.

Jika demikian kita harus mengalami sendiri dan tidak boleh belajar ini-itu? Tidak ada yang harus, semakin diharuskan semakin kita jauh dari tujuan hidup kita. Mengalami, merasakan dan menyadari sepenuhnya dengan segala potensi yang ada dalam diri kita agar senantiasa mendapati cara-cara yang lebih baik dalam hidup.

Masing-masing orang bebas menentukan tujuan hidupnya, sesuai dengan potensi yang ada di dalam dirinya. Tidak menutup kemungkinan akan ada kesamaan dengan orang lain, paling tidak kesamaan dalam cara menjalani hidupnya.

Tidak perlu takut salah, takut ini-itu kalau yang ditanam itu kebaikan. Semakin takut semakin kita kehilangan potensi hidup sehidup-hidupnya. Tulisan ini tidak harus disetujui atau disepakati, tidak perlu dijadikan petunjuk ataupun disakralkan jadi kitab. Tidak perlu menganggap saya guru apalagi nabi, nanti ada orang yang marah-marah dan lekas mencari dan mengatakan pada saya sesat dan penyesat. Apakah orang-orang yang demikian ini dapat hidup sehidup-hidupnya?

Jaga Lali

Badrasanti

Entah bagaimana mulainya, saya tiba-tiba berkomentar di status Damar Shashangka (DS) yang Babad Badrasanti (BB). Kebetulan DS beberapa minggu sebelumnya  menghubungi saya lewat inbox Facebook. Pada saat saya konfirmasi akan dilakukan pengiriman copy BB, rupanya DS sudah terlebih dahulu mendapatkan copy BB tersebut, entah darimana.

Saya memberikan komentar pada status DS sebagai bentuk apresiasi sekaligus konfirmasi tentang apa yang saya pahami dalam Carita Lasem, termasuk di dalamnya tentang Sunan Kalijaga. Rupanya diskusi menjadi cukup panjang, dan saya sedikit kerepotan karena saya hanya mengadalkan ingatan atas beberapa naskah yang pernah saya baca dahulu.

Carita Lasem dalam Babad Badrasanti

Sebelum berlanjut alangkah baiknya baca Belajar Sejarah Minor di Lasem. Seperti dalam tulisan tersebut saya menggunakan istilah Carita Lasem (CL) untuk membedakan dengan Babad Badrasanti (BB). Meski demikian orang lebih familiar menyebut BB, padahal dalam BB berisi tentang ajaran luhur dan tatacara kehidupan yang baik, sementara itu sejarah tentang Kadipaten Lasem dan Raden Mas Said Satikusumo atau Sunan kalijaga termuat dalam CL.

Lebih jauh BB ditulis oleh Empu Santibadra, yang mengalami beberapa kali penggubahan. Sedangkan CL menurut saya ditulis oleh Ki Kamzah. Tidak menutup kemungkinan bukan Ki Kamzah seorang diri yang menulis CL. Sejarah Kadipaten Lasem dalam CL mulai dikenal publik pada masa setelah penggubahan oleh Ki Kamzah. Selanjutnya BB dan CL Dibendel menjadi satu kesatuan, dan lebih disebut sebagai BB saja.

Tumenggung Wilatikta adalah Empu Santibadra?

Berangkat dari pertanyaan apakah Tumenggung Wilatikta adalah Empu Santibadra? Diskusi kemudian berkembang.  Kerancuan tersebut disebabkan karena ada beberapa sumber lain yang belum saling mengafirmasi yaitu sumber berita Kronik Sampokong dalam buku Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara (KS),Babad Tuban dan Babad Tanah Jawi.

Menurut CL, oleh Kertabumi empu Santibadra diberi gelar Tumenggung Wilatikta. Sementara itu dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Tumenggung Wilatikta adalah Adipati Tuban. Sementara itu dalam Babad Tuban, Adipati Tuban Adalah Arya Adikara atau menantunya Arya Teja. Menurut Slamet Muldjana dalam KS, Bupati Tuban adalah Arya Adikara.

Menurut saya benar bahwa Santibadra adalah Tumenggung Wilatikta yang merupakan menantu Adipati Tuban dalam hal ini Arya Adikara. Santibadra menikahi Raden Ayu Retna Dumilah dalam Babad Tuban atau Putri Sukati dalam CL. Nama Sukati bisa jadi nama kecil dari Retna Dumilah.

Saudara Raden Ayu Retna Dumilah yaitu Ayu Teja dinikahi oleh Gan Eng Cu yang kemudian bergelar Arya Teja atu juga Syeh Abdurrohman. Dalam KS, Gan Eng Cu mempunyai anak Bong Ang dan Gan Si Cang. Oleh Slamet Muldjana Bong Ang diidentifikasi sebagai Sunan Bonang dan Gan Si Cang adalah Sunan Kalijaga.

Perihal Jabatan Adipati dan gelar Tumenggung pada Santibadra

Jabatan Adipati pada Tumenggung Wilatikta atau Santibadra dalam Babad Tanah Jawi, perlu dimaknai lebih luas. Karena Santibadra tidak pernah memegang kekuasaan pemerintahan meskipun dia sebagai seorang Tumenggung. Dia lebih tertarik pada pengajaran agama Budha di Majapahit sehingga lebih familiar dipanggil Empu Santibadra.

Jabatan Adipati diperoleh karena Santibadra memperisti Retna Dumilah, anak Adipati Arya Adikara. Bisa jadi Retna Dumilah anak tertua, itu menjelaskan mengapa jabatan Adipati itu jatuh ke tangan Santibadra daripada ke Syeh Abdurahman. Karena yang dinikahi Syeh Abdurrahman adalah Ayu Teja yang merupakan adik Retna Dumilah.

Jabatan Adipati pada Tumenggung Wilatikta hanya secara simbolis saja, dalam praktek pemerintahannya dikendalikan oleh suami adik Iparnya yaitu Syeh Abdurahman atau Arya Teja. Kebiasaan yang berkembang pada saat itu terdapat dua pengasa yang cukup berpengaruh dalam satu kadipaten, yaitu sang Adipati dan Syahbandar atau Dampoawang. Tidak selalu kedua jabatan tersebut diisi oleh orang yang berbeda, tetapi dapat juga dirangkap oleh satu orang.

Menjadi kebiasaan bahwa pewarisan kekuasaan adalah kepada anaknya yang tertua, kebetulan kedua anaknya perempuan maka jatuh ke menantunya dari anaknya yang tertua. Bisa jadi pada awalnya Arya Teja hanya sebagai Syahbandar, namun karena Santibadra lebih sering berada di Majapahit maka kekuasaan di Tuban praktis ada dibawah kendali Arya Teja.

Jika Arya teja diidentifikasi sebagai Gan Eng Cu yang merupakan seorang Cina, maka hal ini lebih masuk akal.  Pada jaman majapahit posisi pelabuhan-pelabuhan penting sering diserahkan kepada seorang Cina, karena kepiawaiannya dalam berdagang juga dalam bahasa.

Hubungan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga

Masih ada yang belum klop yaitu Gan Si Cang dan Bong Ang dikatakan sebagai sama-sama anak Gan Eng Cu oleh Slamet Muldjana dalam KS. Berdasarkan penafsiran saya atas CL dan Babad Tuban, maka Sunan Kalijaga adalah  Pak Lik atau om dari Sunan Bonang. Meski secara abu Sunan Kalijaga lebih tua tapi secara umur Sunan Bonang Lebih tua, mengingat Sunan Kalijaga adalah bungsu dari 10 bersaudara dalam CL.

Masih menurut KS, Anak Gan Eng Cu adalah Gan Si Cang yang dididentifikasi oleh Slamet Muldjana Sebagai Sunan Kalijaga. Perihal status anak  pada Gan Si Cang sebagai anak Gan Eng Cu, mungkin menjadi masuk akal jika Sunan Kalijaga diangkat anak oleh Arya Teja/ Gan Eng Cu. Karena menurut penuturan CL, Sunan Kalijaga kecil masih berumur 2 tahun ketika ditinggal bapaknya, Empu Santibadra mengabdi ke Majapahit. Selanjutnya pada umur 19 tahun Sunan Kalijaga muda pergi ke Tuban berguru Agama Islam pada Kakeknya Arya Adikara yang juga disebut sebagai Sunan Bejagung. Dengan demikian KS menjadi benar jika pemaknaan anak diperluas, bukan hanya anak secara biologis/keturunan tapi juga termasuk anak angkat.

Saya sekaligus meralat bahwa Sunan Kalijaga Tidak berguru kepada Sunan Bonang di Tuban, tetapi kepada Sunan Bejagung atau Kakeknya sendiri yang bernama Arya Adikara, karena pada waktu itu justru Sunan Bonang sedang berada di Lasem, menjaga istana Kakak Iparnya di Binangun Lasem, yaitu Adipati Wiranegara, suami dari putri Malokha.

Putri Malokha dan Sunan Bonang

Dikatakan dalam CL bahwa Malokha adalah kakak dari Sunan Bonang, yang keduanya merupakan anak dari Sunan Ampel. Sementara itu menurut KS, Sunan Bonang merupakan anak Sunan Ampel dari perkawinannya dengan Ni Gede Manila. Ni Gede Manila adalah anak dari Gan Eng Cu/Arya Teja dari Istri terdahulu, seorang Cina. Dengan demikian CL dan KS terkait asal usul Sunan Bonang klop.

Sebagai penutup, dapat saya katakan bahwa Tumenggung Wilatikta adalah Santibadra, yang juga merupakan Adipati Tuban secara definitif, namun demikian dalam prakteknya peran tersebut diambil alih oleh Arya Teja. Sunan Kali Jaga adalah Raden Mas Said Santikusuma alias Gan Si Cang anak bungsu Santibadra dengan Raden Ayu Retna Dumilah/Putri Sukati.  Putri Sukati sendiri adalah anak dari Tumenggung Arya Adikara, Adipati Tuban yang juga bergelar Sunan Bejagung. Adik dari Retna Dumilah adalah Ayu Teja, yang diperistri Syeh Abdurrahman atau juga disebut Gan Eng Cu kemudian bergelar Arya Teja.  Sebelum menikah dengan Ayu Teja, Gan Eng Cu telah menikah dengan seorang Cina, dari perkawinan ini melahirkan Putri Malokha dan Sunan Bonang.

Kepada keluarga, pendukung dan pengaggum tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas mohon maaf kalau ada salah tulis atau salaf tafsir. Saya berharap dari tulisan ini bukan hanya membuat kita tahu akan sejarah Sunan Kalijaga dan yang lainnya, tapi juga menjaga agar kita tetap ingat pada akar sejarah kita. Oleh karena itu tulisan ini saya beri judul Jaga Lali, maksudnya menjaga agar kita tetap eling atau tidak lupa darimana dan siapa diri kita.