Monthly Archives: July 2006

Analisis Protein Spesifik Tembakau Srinthil

1. PENDAHULUAN

Tembakau srinthil merupakan salah satu bentuk dari tembakau rajangan dari daerah Kedu dengan kualitas istimewa. Keistimewaan tembakau tersebut terletak pada ke-khas-an rasa yang dimiliki juga karena proses terbentuknya yang tidak tentu dan begitu alami tanpa campur tangan manusia, sehingga oleh masyarakat sekitar peristiwa tersebut masih dianggap sebagai keajaiban alam atau supranatural. Oleh karena prosesnya yang tidak menentu serta keunggulan rasa yang dimiliki, menyebabkan tembakau srinthil mendapatkan harga di pasaran yang jauh lebih tinggi dari pada tembakau rajangan biasa.

Pada industri rokok keberadaan tembakau srinthil dalam racikan turut menentukan kualitas rasa rokok yang dihasilkan. Sementara itu jumlah tembakau srinthil yang ada di pasaran sangat tidak menentu. Oleh karena itu penelitian tentang peristiwa terbentuknya tembakau srinthil sangatlah diperlukan dengan harapan proses terbentuknya tembakau srinthil dapat dikendalikan.

Penelitian ini merupakan penelitian awal dalam upaya mencari tahu lebih banya tentang peristiwa terjadinya tembakau srinthil. Sebagai titik tolak dalam penelitian ini di fokuskan pada kandungan protein teutama untuk mengetahui kandungan protein yang secara khas terdapat pada tembakau srinthil selama proses pemeraman. Dengan harapan jika  telah diketahui protein yang secara spesifik pada tembakau srinthil dapat dirunut sumber dari protein tersebut, apakah protein tersebut merupakan hasil dari proses metabolisme tembakau itu sendiri ataukah melibatkan organisme dari luar. Lebih lanjut jika sumber dari protein tersebut dapat diketahui maka dimungkinkan cara untuk merekayasa baik secara genetik ataupun lingkungannya. Namun demikian dalam penelitian ini akan dibatasi pada upaya mencari tahu keberadaan protein yang secara spesifik terdapat pada tembakau srinthil.

Untuk mengetahui keberadaan protein yang secara spesifik terdapat pada tembakau srinthil menggunakan metode pemisahan berdasarkan kemampuan dari protein dengan berbagai ukuran untuk melewati bidang pemisah dengan kerapatan tertentu yang didorong dengan tenaga listrik. Secara khusus menggunakan teknik elektoforesis gel. Teknik ini digunakan dengan pertimbagan pada pengerjaan prosedur yang tidak terlalu rumit serta biaya operasional yang tidak terlalu tinggi dengan akurasi hasil yang tinggi.

***

Untuk lebih mengenai rancangan penelitian ini silahkan download disini.

Bermahasiswa Bukan Sekedar Menjadi Mahasiswa

Teman-teman mahasiswa baru yang saya kasihi, suatu pergumulan yang berat ketika kami harus menyambut kedatangan teman-teman dan kami tidak dapat memberikan apa-apa…

Hanya melalui tulisan ini saya berharap dapat memeberikan bekal bagi teman-teman untuk memasuki dunia kampus yang nantinya akan mempersiapkan teman-teman memasuki dunia kerja, memikul tanggungjawab masa depan bangsa.

Untuk itu persiapkan diri baik-baik.

 

Adakah yang bisa dibanggakan?

Saya ucapkan selamat datang bagi mahasiswa baru, selamat datang di kampus kita tercinta Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Saya sangat berbangga atas keputusan teman-teman dalam memilih UKSW sebagai tempat untuk mengasah diri menyongsong masa depan. Mengingat bahwa di luar ada banyak sekali Perguruan Tinggi baik negeri ataupun swasta yang menawarkan berbagai layanan pendidikan dengan jaminan cepat lulus, cepat dapat kerja, fasilitas lengkap, biaya murah dan lain sebagainya. Lalu apa yang dapat dibanggakan dari UKSW?

Banyak hal yang dapat kita banggakan dari UKSW, mulai dari keberagaman etnis dan kepercayaan sampai tingkat perekonomian orang tua mahasiswa. Hubungan antara mahasiswa dan dosen yang memegang prinsip “Magistrorum et scholarium[2] dengan mengedepankan ke-partner-an sehingga bukan merupakan hubungan antara atasan dan bawahan. Dengan damikan menjadikan UKSW merupakan suatu “Indonesia mini” yang sekaligus kampus persemaian demokrasi.  Hak-hak dan penghargaan terhadap mahasiswa dijunjung tinggi, hal itu diwujudnyatakan melalui keterwakilan unsur mahasiswa baik di Fakultas ataupun Universitas oleh Lembaga Kemahasiswaan (LK). Dengan demikian pengambilan kebijakan di dalam kampus, terutama yang menyangkut mahasiswa harus melibatkan LK. Hal ini patut dibanggakan mengingat bahwa di kampus lain, mahasiswa hanya sebatas pengguna jasa layanan pendidikan sehingga tidak perlu dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.

“Bermahasiswa”[3] bukan sekedar mahasiswa

Kalau di kampus lain setelah kita diterima dan punya Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) maka kita sudah sah dianggap mahasiswa, namun di kampus kita “bermahasiswa” dimaknai lebih dari sekedar mempunyai KTM, kuliah dan lulus cepat dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi. Tanggungjawab dan dedikasi yang tinggi terhadap ilmu menjadikan lulusan kita mempunyai keunggulan dibandingkan lulusan dari perguruan tinggi lain. Karena UKSW telah mendesain profil lulusan dengan ciri khas minoritas yang berdaya cipta (creative minority)[4]. Apakah hal ini berarti bahwa kita dapat lulus dengan mudah dan cepat serta mempunyai keunggulan yang Creative minority tersebut tanpa harus bersusah payah ?

Tentu saja tidak, untuk menjadi pribadi yang Creative minority , bertanggungjawab dan berdedikasi tinggi adalah sebuah pilihan. Terdapat banyak wadah atau kesempatan yang memungkinkan bagi kita untuk mendapatkan hal itu melalui pelatihan-pelatihan, lomba, seminar, partisipasi dalam kelompok bakat dan minat (Olahraga, seni, jurnalistik, dan penalaran) yang kesemuanya itu terangkum dalam Lembaga Kemahasiswaan. Terdapat banyak sekali kelompok bakat dan minat yang ada di UKSW baik yang ada di Fakultas ataupun di Universitas mulai dari olahraga basket, volley, bela diri, teater, karawitan, vokal grup, robotika, karya tulis dan penelitian, pers kampus dan lain sebagainya.

Dengan melibatkan diri kita dalam kegiatan-kegiatan tersebut maka akan semakin membuka wacana kita dan membuat kita semakin yakin mengadapi tantangan masa depan, karena itulah UKSW ada.

Mengapa takut “bermahasiswa”

Sebagian orang sangat takut untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan tersebut, ada yang takut jika akan mengganggu perkuliahannya, ada juga yang menganggap hal itu tidak penting dan hanya akan membuang waktu sia-sia. Tentunya akan ada banyak argumen yang  dilontarkan untuk menutupi ketidakmampuan kita melihat realitas. Bisa diambil contoh adalah perasaan kita ketika berada di tepi danau di tengah-tengah gunung dengan air yang jernih.  Sejujurnya kita sangat ingin merasakan kesejukan air itu, namun demikian kita sangat takut ketika kita menyentuhkan jari kita ke air tersebut dan ternyata dingin. Kebanyakan orang memutuskan untuk mengurungkan niatnya mandi di danau tersebut, meskipun sudah lama tidak mandi. Namun demikian berbahagialah mereka yang memutuskan untuk mandi, karena mereka akan merasakan kesejukan, dan hal yang sangat luar biasa terjadi ketika kita keluar dari air dan kita merasakan tubuh kita menjadi begitu hangat sehingga kita bisa melanjutkan perjalanan kita menuju puncak.

Berangkat dari cerita tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa ketakutan kita untuk terlibat dalam kegiatan disebabkan karena kita telah terlebih dahulu membuat persepsi yang salah tentang keterlibatan tersebut. Bukankah kita sepatutnya bersyukur telah diberikan akal budi, sehingga dengan akal budi tersebut kita dimampukan untuk dapat mengatasi tantangan jaman. Memang segala sesuatunya akan lebih indah jika kita melakukan berbagai kegiatan baik kuliah ataupun “bermahasiswa” sebagai bentuk ucapan syukur, bukan karena sekedar tuntutan ataupun prasyarat untuk memasuki dunia kerja.

“Bermahasiswa” apa yang bisa kita dapatkan?

Hal yang lebih menarik lagi ketika kita “bermahasiswa” adalah kesempatan untuk dapat mengolah ketrampilan manajerial serta mamahami suatu sistem. Sudah barang tentu dalam dunia kerja membutuhkan keteraturan, pembagian kerja yang jelas, pelaporan dan hierarki yang jelas. Agar proses produksi dapat berjalan lancar harus ada koordinasi yang baik antara bagian pemasok bahan baku, bagian produksi, dan bagian pemasaran. Jika salah satu dari bagian tersebut tidak berjalan maka akan terjadi  gangguan terhadap hasil yang diproleh, dan perusahaan bisa merugi. Sangat disayangkan jika hal itu terjadi pada diri kita ketika kita memasuki dunia kerja, hanya saja kita tidak terbiasa dan tidak terlatih untuk menghadapi kondisi tersebut. Seperti ada pepatah “ tidak ada kuda liar, yang ada hanyalah kuda yang belum terlatih”.

Dengan keterlibatan kita di Lembaga Kemahasiswaan memungkinkan bagi kita untuk dapat mempelajari “sistem” yang merupakan prototipe dari perusahaan, negara ataupun alam semesta yang penuh dengan keteraturan. Kita menjadi tahu bagaimana profil lulusan UKSW di desain melalui Skenario Pola Pengembangan  Mahasiswa (SPPM), kita menjadi tahu aturan-aturan yang berlaku dan mengapa hal itu diberlakukan seperti dalam Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa (KUKM), kita menjadi tahu bagaimana seuatu kegiatan bisa dilaksanakan dan bagaimana harus melaporkannya, dan masih banyak lagi yang bisa kita dapatkan.

Pesan Sponsor

Memang benar ada banyak kesempatan yang ditawarkan kepada kita, namun demikian saya tegaskan sekali lagi bahwa bagaimanapun profil lulusan di desain jika kita memutuskan untuk sekedar berkuliah dan hanya sekedar menjadi mahasiswa maka kita akan sangat rugi besar, bukan hanya saat ini tapi juga masa depan kita. Saya tidak dapat menjelaskan secara rinci bagaimana struktur LK dan pembentukannya. Teman-teman penasaran? Jika penasaran berlanjut hubungi kantor LK terdekat. Hidup mahasiswa……!!!


[1] Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Periode 2005-2006. Mahasiswa Fakultas Biologi

 

[2] Persekutuan antara pengajar (dosen) dengan yang diajar (mahasiswa).

[3] Partisipasi aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan.

[4] Meskipun dalam jumlah yang kecil tetapi mampu menunjukkan jalan bagi bangsanya dan dapat membimbing masa yang pasif menjadi penganut yang giat karena superioritas jiwa dan roh serta kekuatan keyakinannya.

Research University, Jembatan Menuju 50 Tahun Berikutnya?

Dalam beberapa kesempatan diskusi kecil-kecilan menjelang Dies Emas Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), seringkali terlontar perasaan kecewa dan menyayangkan kondisi UKSW saat ini, terutama menyangkut kepekaan sosial dan spirit keberpihakan kepada masyarakat lemah. Dahulu sepak terjang UKSW dijadikan barometer pergerakan mahasiswa di aras regional bahkan nasional. Namun demikian kondisi sekarang memang terkesan lebih syarat akan aktifitas akademis, terutama semenjak diberlakukannnya Trimester. Dosen dan mahasiswa sangat bersemangat dengan penelitian sebagi icon dalam persaingan antar Perguruan Tinggi yang menjadikan UKSW sebagai research university.

Memang banyak penelitian tersebut dapat membawa nama harum UKSW, seperti yang digeluti Dr. Leenawati Limantara tentang klorofil, namun terkadang juga terdapat kabar miring yang mengidentikan UKSW seringkali mengadakan penelitian pesanan atau dengan kata lain research by project. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kemudian dengan banyaknya aktifitas penelitian tersebut akan dapat menjawab eksistensi UKSW 50 tahun ke depan?

Transfer Knowledge, Intelektualitas dan Tanggungjawab Sosial

Dengan Research University seolah-olah terkesan bahwa transfer knowledge hanya mungkin terjadi di ruang kelas dan laboratorium saja, padahal dalam banyak kesempatan munculnya sikap dan pemikiran kritis justru dimulai dari obrolan ringan di kafe atau justru pada saat-saat santai. Konon transfer knowledge intensif dilakukan dari kalangan pasca sarjana ke mahasiswa strata satu. Dengan demikian mampu menghadirkan pemikiran-pemikiran yang realistis untuk dilalukan dan masif. Proses tersebut disadari sebagai upaya untuk menghidupkan spirit dan kekritisan terhadap berbagai kebijakan baik di dalam ataupun di luar kampus. Sangatlah wajar sekali jika UKSW selalu cepat merespon dan berkontribusi dalam pemecahan berbagai permasalahan sosial yang muncul.

Sementara itu kondisi saat ini berbagai permasalahan sosial semakin kompleks,  namun mahasiswa melalui Lembaga Kemahasiswaan  yang dianggap paling  tepat  untuk peduli tetap saja tidak dapat berbuat banyak. Sebagai contoh masalah penyesuaian tarif PDAM (perusahaan Daerah Air Minum) Kota Salatiga tahun 2006. hal itu bukanlah menjadi tanggungjawab teman-teman di LK saja, namun justru menjadi indikator tingkat keberhasilan transfer knowledge yang dilakukan oleh para pengajar yang ada. Apabila para pengajar yang ada kurang lihai dan membatasi transfer knowledge hanya sebatas pada materi yang bisa dikonversi dengan besaran sks maka sangatlah wajar jika aksi-aksi maupun respon yang diberikan mahasiswa sebatas menjaga status kemaha-siswaanya saja.

Boleh jadi peningkatan intelektualitas mahasiswa dapat dibanggakan, namun peningkatan intelektualitas tersebut tidak serta merta diikuti peningkatan kesadaran dan tanggung jawab sosial. Sangatlah wajar jika mahasiswa cenderung lambat atau bahkan tidak merespon setiap permasalahan sosial yang ada. Akan menjadi suatu ancaman yang serius ketika para lulusan UKSW mempunyai intelektualitas yang tinggi namun kesadaran dan tanggung jawab sosial rendah, tidak menutup kemungkinan akan melacurkan intelektualitasnya itu. Dengan kata lain mahasiswa tersebut juga berpotensi menjadi mesin penghancur yang sangat efektif.

Iman dan Intelektualitas

Menyinggung tentang profil lulusan yang bercirikan creative minority atau yang dapat diturunkan sebagai perwujudan tinggi iman dan tinggi ilmu, sudah sangatlah baik jika kedua kompetensi itu terjawab. Dengan research university sudah jelas dapat mewujudkan tinggi ilmu, lalu bagaimanakah dengan perwujudan tinggi iman?

Masih dari buah-buah pemikiran diskusi, banyak yang sependapat adanya suatu hubungan yang linear antara tingginya iman dengan tanggungjawab sosial. Terlepas dari agama apapun dan Tuhan dengan sebutan apapun, jika manusia telah mencapai kedekatan secara spiritual dengan Tuhannya itu maka tanggungjawab sosialnya akan semakin tinggi. Apabila kita masih berpura-pura terlibat dalam berbagi kegiatan rutin formalitas maka sebenarnya merupakan ketakutan akan sanksi sosial dan bukan membangun kesadaran tanggungjawab sosial. Sebagai contoh adalah rutinitas kehadiran dosen di ruang kelas, jika kehadiran dosen di ruang kelas karena tuntutan jam yang telah ditentukan dan bukan karena spirit untuk memberikan pencerahan kepada mahasiswa maka  hal ini akan menjadi sebuah lingkaran rutinitas yang membosankan. Karena pencerahan yang diberikan oleh dosen dapat terlihat dari kemampuan mahasiswa yang bersangkutan dalam merespon masalah-masalah sosial. Mungkin sudah waktunya untuk mereinterpretasi pengertian dosen bukan hanya sebatas penceramah dan penilai tetapi sebagai pengajar sekaligus partner seperti yang diungkapkan dalam slogan magistrorum at  scholarium.

Contoh lain adalah ketika didapati mahasiswa bermasalah apakah yang dapat dilakukan oleh UKSW? Secara prinsip orangtua mahasiswa telah menitipkan anaknya tersebut kepada UKSW untuk dibentuk dan dijadikan  manusia, bukan untuk dihakimi dan diperlakukan tidak manusiawi. Sangatlah mudah jika mendidik orang yang memang sudah pintar, tetapi sangatlah mulia jika UKSW mampu menciptakan orang-orang sukses yang bertanggungjawab meski tidaklah terlalu pintar. Dalam hal ini UKSW akan dinilai berhasil menghadirkan model pendidikan yang berkualitas dan manusiawi.

Rasa kepemilikan para alumni kepada UKSW yang sebenarnya tidak merasa pintar namun bisa mendapatkan kesuksesan akan lebih tinggi jika dibandingkan mereka yang relatif pintar. Begitu besar jasa UKSW di kemudian hari akan mengikatkan alumni untuk turut berkontribusi meningkatkan eksistensi almamaternya.

Pendidikan Berkualitas dan Manusiawi

Terdapat celah-celah kecil yang tidak secara seksama diperhatikan oleh para dosen atau karyawan UKSW sebagai satu kesatuan sistem. Sikap dan perilaku baik dosen ataupun karyawan yang merasa lebih tinggi dari mahasiswa sehingga dalam pelayanannya terkesan asal-asalan dan terkadang dijadikan prospek pasar. Pelayanan yang terkesan asal-asalan tersebut dapat menyebabkan trauma, dan pengalaman itu akan dibawa oleh mahasiswa tersebut sampai kelak mempunyai jabatan. Bisa dibayangkan seandainya kemarahan yang seharusnya dikeluarkan kepada pegawai perpustakaan yang bertindak semaunya sendiri kemudian baru bisa keluar saat menjabat sebagai seorang bupati. Tidak menutup kemungkinan kemarahan itu akan terekspresi dalam bentuk kepemimpinan yang otoritarian, bahkan mungkin korupsi.

Memang benar proses belajar-mengajar terjadi di ruang kelas dalam beberapa jam saja, namun sesungguhnya mahasiswa menggarisbawahi sikap-sikap dan perlakuan yang diberikan kepadanya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Hal-hal yang digarisbawahi tersebut kemudian akan menjadi dorongan yang sangat kuat untuk berbuat destruktif, karena yang bersangkutan menganggap hal itu normal dan wajar. Sebagai contoh adalah kewajiban mahasiswa untuk membayarkan iuran kesehatan dan voucher internet. Ketika mahasiswa tersebut hendak menuntut pelayanan tidak jarang mereka dipersulit oleh karena berbagai alasan, dan bahkan meskipun telah bayar di muka pelayanan yang diperoleh justru tidak lebih baik dari yang reguler. Dalam kondisi ini mahasiswa merasa tidak mampu berbuat apa-apa dan menilai bahwa orang-orang yang ada di universitas ini ternyata membuat peraturan yang begitu kejam, seolah-olah mahasiswa tersebut begitu bodoh. Kemarahan mahasiswa tersebut kemudian dikompensasi dalam bentuk perusakan barang-barang termasuk pencurian buku. Bagi mahasiswa hal itu mungkin dianggap benar karena telah membayar dan merasa memiliki, karena selama ini mereka kecewa akan pelayanan yang diberikan tidaklah sama seperti yang didengar mereka ketika tim promosi dengan lantang memperkenalkan UKSW kepada mereka.

Kemudian bagaimanakah menghadirkan pendidikan yang berkualitas atau seperti harapan yang terdapat dalam slogan sebagai universitas Scientiarum. Proses pendidikan dan sintesis ilmu pengetahuan akan lebih efektif dan masif ketika mahasiswa sebagai yang belajar merasa nyaman dan aman. Rasa nyaman dan aman tersebut tidak harus kemudian semua ruang kuliah diberi AC (air conditioner) dan menggunakan infocus. Ancaman terhadap rasa nyaman dan aman tersebut terlihat ketika dosen memberikan tugas dengan batas waktu yang sempit dengan keharusan mencantumkan sejumlah referensi. Sekilas hal itu nampak sangat positif dalam meningkatkan keuletan dan kecerdasan mahasiswa, tetapi kita tidak menyadari bahwa keterbatasan referensi di perpustakaan dan lambatnya akses internet. Meskipun bagian sirkulasi dibuka, tidak menjamin mahasiswa dapat segera menyelesaikan tugas itu dengan segera karena koleksinya juga terbatas, apalagi dengan sistem tertutup. Ketika mahasiswa tersebut meminta pengunduran batas waktu karena alasan lemahnya pelayanan perpustakaan sang dosen menolak alasan tersebut karena masih bisa pakai internet. Ternyata menggunakan internet tidaklah semudah yang dibayangkan sang dosen, mahasiswa tersebut berselancar berjam-jam karena agak lambat tetap juga tidak mendapati referensi yang diharapkan. Namanya saja dunia maya, meskipun hanya selebar layar monitor tetap saja lebih mudah mencari jarum di atas tumpukan jerami.

Kepenatan mahasiswa akan fasilitas tersebut belum usai masih harus dibebani untuk memikirkan uang kuliah trimester depan, sementara pelunasan trimester berjalan baru dibayarkan bulan sebelumnya. Keadaan-yang semacam ini yang kemudian mendesain pemikiran mahasiswa menjadi pragmatis mengejar uang dengan berbagai cara agar dapat kuliah misalnya. Apakah dalam kondisi ini kita masih manyalahkan mahasiswa? Belum lagi ketika mahasiswa memasuki kampus kemudian mecoba merasakan ke unit-unit pelayanan yang ada, respon mulai dari petugas satpam ataupun karyawan yang ada di unit tersebut dengan muka garang, seolah-olah merekalah yang memiliki kampus ini. Mereka tidak menyadari bahwa dari mahasiswalah mereka dapat menafkahi anak-istri. Dimanakah kesantunan dan keramahan sebagai institusi kristen yang melayani?. Mungki sudah waktunya belajar melayani dari karyawan dan satpam beberapa bank yang ada di Salatiga. Apakah karakter ramah dan santun tersebut merupakan bawaan sejak kecil atau bentukan dari sistem?

Epilog

Melihat kondisi UKSW terutama menjelang dies emas, sudah waktunya untuk merefleksikan kiprahnya sampai sejauh ini. Dapatkah melalui serangkaian kebijakan dalam rangka mewujudkan Research University dapat mengantarkan menuju 50 tahun ke depan?. Eksistensi UKSW ke depan dengan Research University-nya akan lebih menjanjikan jika spirit pengabdian dan pelayanan terhadap ilmu tetap mendasarkan diri atas perasaan takut akan Tuhan, bukan  takut akan yang lainnnya. Secara menyeluruh UKSW harus dapat kembali mempertegas identitas sebagai lembaga pelayanan pendidikan kristen yang kemudian dijiwai bukan hanya oleh dosen dan mahasiswa tetapi juga keseluruhan elemen yang menopang menuju terlaksananya proses pelayanan pendidikan tersebut. Penjiwaan tersebut kemudian melahirkan dorongan bagi segenap dosen dan karyawan untuk senatiasa bergelut bersama mahasiswa dan menjadikan mahasiswa sebagai fokus pelayanan mereka sekaligus ucapan syukur atas kesetiaanya pada Firman Tuhan.

Hanya dengan  kesetiaan, keteguhan dan keyakinan kepada Firman Tuhan tersebut, mampu mengantarkan UKSW ke depan. Ujian terberat bagi eksistensi UKSW adalah terletak pada kesuksesan dan perilaku lulusannya, dan UKSW hanya diberi kesempatan maksimal tujuh tahun untuk dapat menciptakan itu. Apakah UKSW bisa memberikan garansi jika proses tersebut dipercepat? Konsumen atau pengguna jasa alumni dan masyarakat akan menilai seberapa banyak dan seberapa berhasil dan seberapa bertanggungjawabnya alumni mahasiswa ketika memasuki dunia kerja dan mengabdi kepada masyarakat. Barangkali segala cara telah diusahakan, namun satu hal yang dapat dijadikan patokan “apakah UKSW hadir  sudah menjadi berkat bagi bangsa ini?”


[1] Mahasiswa Fakultas Biologi UKSW, Ketua Umum SMU peride 2005-2006.