Waktunya Berjemur?

Merebaknya pandemi virus Corona (Covid-19) membangkitkan kesadaran masyarakat untuk lebih peduli dengan kebersihan dan kesehatan tubuhnya. Salah satu upaya untuk meninggkatkan kesehatan adalah dengan cara mendapatkan asupan Vitamin D yang cukup dengan cara berjemur di Matahari pagi. Belakangan banyak terjadi perdebatan pada jam berapa cahaya Matahari yang paling bagus untuk berjemur? Ada yang bilang jam 09.00 pagi, ada yang bilang jam 10.00 pagi. Manakah yang tepat?

Tidak semata-mata tentang jam, namun dengan adanya pembagian zonasi waktu juga posisi kita memberikan sedikit varian tentang waktu yang tepat untuk berjemur. Cahaya Matahari dengan panjang gelombang sekitar 315-280nm merupakan UV b yang diperlukan oleh tubuh untuk menghasilkan vitamin D. Singkat cerita, cahaya UV b itu masuk ke Bumi pada sudut kemiringan tertentu, yaitu antara 45-900 Pada sudut yang optimal tersebut adalah waktu yang tepat untuk berjemur. Lalu pada jam berapa kita bisa mendapatkan matahari pada sudut kemiringan 45-90 derajat?

Jawabannya tergantung lokasi kita masing-masing. Nah supaya tidak ribet, bisa nih menggunakan aplikasi hitungan otomatis dengan tata cara sebagai berikut:
1. Buka link berikut https://keisan.casio.com/exec/system/1224682277
2. Klik tombol Google Map, pilih lokasi anda. Abaikan kolom tanggal, akan terisi otomatis.
3. Time Zone tulis angka 7 untuk WIB, 8 untuk WITE, 9 untuk WIT
4. Klik tombol Execute. Lihat hasil perhitungannya, scroll ke bawah.
5. Perhatikan kolom Elevation Angle dengan nilai di atas 45 dan kurang dari 90. Setelah ketemu, lihat kolom sebelah kiri yang menunjukkan jam dan menit.
Sebagai contoh : Untuk posisi di Salatiga, maka waktu yang tepat dimulai pada jam 09.00 pagi dengan sudut elevasi 48.25 derajat. Jika berjemur sebelum jam 09.00 tidak bermanfaat untuk menghasilkan Vitamin D, karena akan lebih banyak cahaya UV a yang justru dapat memicu kerusakan kulit seperti keriput.

Masing-masing daerah tentunya ada sedikit perbedaan waktu, tinggal menyesuaikan. Selanjutnnya yang menjadi catatan adalah mengenai lama waktu untuk berjemur. Orang Indonesia dengan kulit cokelat muda rata-rata membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Semakin gelap-warna kulit perlu semakin lama untuk berjemur. Namun tidak disarankan terlalu lama juga supaya tidak merusak kulit.

Jadi sudah tahu kan kapan saat yang tepat untuk berjemur? Iya, berjemur di samping kamu. Demikian semoga membantu.

EMERGING BIOSECURITY AND BIODIVERSITY IN OIL PALM PLANTATIONS: A Case Study from Ketapang, West Kalimantan

Oil palm was first introduced to Indonesia in 1848, and since then the country has become the world’s leading producer, as well as one of the main consumers. As of 2015, over 11 million hectares is used to grow oil palm, including government-owned, private and smallholder plantations. Oil palm is claimed as a multi purpose oil, for human needs and to leverage rural economic development. On the other hand, the oil palm plantation industry has many critics concerning its impact on the environment, and social issues such as deforestation, human and animal conflicts. This paper will explain Company–community initatives leading to collaborative action as a case study in Ketapang, such as preservation of conservation area, opening new rice fields, mushroom and edamame production initiatives. After observing location, interview and secondary data collection thus the oil palm companies need to pay attention to biodiversity and food scarcity issues through assisting the communities and creating collaborative sustainability action.

Download Full Article

Diskursus Kebiasaan Merokok dalam Perspektif Sigmund Freud dan Herbert Marcuse

Merokok menjadi fenomena yang jamak di Indonesia, kita dapat dengan mudah menjumpai orang-orang merokok sekalipun berada pada lingkungan yang jelas-jelas tertulis larangan untuk merokok. Mengacu pada UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 115 menyebutkan bahwa yang termasuk Kawasan Tanpa Rokok adalah fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

Kebiasaan merokok merupakan resultan yang nampak dari sekian panjang dan kompleksitas permasalahan tembakau, mulai dari faktor budaya, faktor ekonomi, faktor psikososial juga faktor politik selain masalah kesehatan itu sendiri. Ketersediaan tembakau sebagai bahan baku utuama menjadi faktor awal fenomena kebiasaan merokok. Indonesia berada pada peringkat ke-5 sebagai produsen tembakau dunia dengan produksi tembakau sebesar 135.678 ton, atau sekitar 1.9% dari total produksi tembakau dunia. Produksi tembakau meningkat dari dari 135.678 ton tahun 2010 menjadi 226.704 ton tahun 2012, namun di sisi lain impor tembakau juga meningkat dari 65,6 ribu ton tahun 2010 menjadi 106,5 ribu ton tahun 2011. Ini berarti permintaan rokok di Indonesia cukup besar karena konsumsi masih meningkat (Tobacco Control and Support Center – IAKMI, 2014).

Pada tahun 2012 tercatat ada 786,2 ribu orang petani tembakau di Indonesia, mengalami peningkatan dari tahun 2010 yang hanya 679,6 ribu orang. Peningkatan jumlah ini mengindikasikan bahwa petani masih mendapatkan keuntungan dari tembakau, walaupun risiko untuk menanam tembakau sangat tinggi seperti gagal panen karena curah hujan yang tinggi atau karena hama. Selain itu, petani tembakau berada pada posisi tawar yang rendah karena harga tembakau ditentukan oleh pabrik rokok melalui tengkulak. Informasi mengenai ketersediaan tembakau di gudang pabrik rokok tidak diketahui petani sehingga petani tidak dak mengetahui berapa kebutuhan pabrik rokok. Secara total produksi rokok nasional terus mengalami peningkatan, tercatat pada tahun 2013 sudah mencapai 332 milyar batang (Tobacco Control and Support Center – IAKMI, 2014).

Selengkapnya download disini