Waton Amben : Filosifi Sukses Orang Jawa

K

etika saya masih mengajar di Tarakan, hampir setiap hari saya mengunjungi toko buku terbesar di pusat kota itu, maklum  di kota kecil itu tidak banyak pilihan hiburan tersedia untuk melepas penat. Meski tidak selalu membeli buku, setidaknya kita bisa nyicil membaca buku yang disukai sambil ngadem. Seperti halnya toko buku besar di kota lainnya, masing-masing dikelompokkan dalam berbagai kategori, seperti komputer, satra, peternakan, bisnis serta pengembangan diri dan seterusnya. Pada dua kategori yang saya sebut terakhir yaitu tentang bisnis dan pengembangan diri saya mendapati banyak sekali buku yang mencantumkan kata sukses, gila dan luar biasa pada sampul depannya. Tergelitik dengan buku tersebut sebagian diantaranya saya baca meski tidak sampai tuntas.

Kebiasaan mengunjungi toko buku masih terbawa ketika saya kembali ke Jawa, sepertinya buku-buku dengan kata sukses, gila dan luar biasa pada sampul depannya semakin beragam. Muncul pertanyaan dalam diri saya apakah benar manusia memang perlu gila atau perlu benar luar biasa hanya untuk menjadi sukses ataupun kaya? Akan ada banyak pertanyaan lagi jika sukses dan kaya dikembangkan dalam kehidupan secara menyeluruh, bukan hanya dalam bidang ekonomi saja. Indikator kesuksesan tidak akan semata-mata diukur dari kepemilikan materi saja, tapi juga akan berkembang kepada kemudahan untuk mendapatkan akses atas hak-hak dasarnya, misalnya kesehatan, keluarga, pendidikan dan keagamaan.

Sadar atau tidak pikiran manusia memang tidak akan mengambil tindakan yang merugikan atau berujung kegagalan dalam hidupnya. Sepengamatan saya buku-buku motivasional tersebut melakukan pendefinisian ulang dan penajaman makna kesuksesan dengan pembiasaan. Kebiasaan bekerja keras digantikan bekerja dengan cerdas, kebiasaan berbagi digantikan dengan menjual, kebiasaan toleransi digantikan kompetisi, kebiasaan menghormati diganti dengan mencurigai, ini menurut saya.  Barangkali akan ada banyak orang yang memeberikan testimoni akan manfaat dari buku-buku tersebut.  Tetapi entah mengapa saya merasa tidak nyaman jika saya harus mengamini buku-buku tersebut.

Di lain waktu, beberapa orang cukup agresif mendekati saya untuk bergabung dengan bisnis MLM (multi level marketing).  Sama, yang ditawarkan adalah kesuksesan hidup, mendapatkan penghasilan banyak tanpa harus bekerja keras. Selain iming-iming akan kesuksesan kita juga akan ditawarkan mengenai semangat untuk membantu atau menolong orang lain melalui bisnis ini. Dua alasan inilah yang cukup kuat untuk meyakinkan orang lain menjadi down line, terlebih lagi di Indonesia yang sangat kental akan nuansa keagamaannya. Bagaimana tidak? Ketika sukses memungkinkan kita untuk ‘membeli’ apa saja, bahkan termasuk manusia, terutama yang berjenis kelamin perempuan. Bisa berwisata kemana saja, terlebih lagi wisata agama. Bisa menyumbang kepada orang miskin sebanyak-banyaknya agar mendapatkan upah di surga. Usaha dan bisnis semacam ini apakah salah atau melanggar aturan? Sepertinya sah-sah saja.

Re-Definisi Kesuksesan

Pendefinisian ulang kesuksesan dalam bingkai keagamaan dapat membawa euforia yang sepertinya baik. Dalam banyak hal, jika pelaku atau yang terlibat dalam jumlah banyak maka hal yang tidak baikpun akan dianggap baik. Dengan pendefinisian ini, maka orang-orang selain berlomba-lomba mengumpulkan materi juga melakukan segala cara untuk mendapatkan status paling baik menurut definisi kelompoknya. Misal, kita akan dengan mudah melihat jika orang dengan tutup kepala atau pakaian dengan warna atau model tertentu adalah orang yang taat beribadah, atau tokoh agama. Simbol-simbol semacam itu menjadi penting karena juga akan menjadi pelengkap makna kesusksesan hidup.

Seperti telah disinggung sebelumnya, pendefinisan ulang kesuksesan itu telah mengubah beberapa kebiasaan. Sebenarnya tidak ada yang salah dari buku-buku tersebut, semuanya dikembalikan kepada kita masing-masing untuk menentukan sikap. Namun siapakah yang akan bertanggungjawab ketika kebiasaan toleransi beragama berubah menjadi kompetisi? Malangnya kompetisi itu bukan hanya dalam satu agama tapi dapat juga lintas agama. Seperti halnya dalam dunia bisnis, dalam persaingan siapa yang kuat dialah yang menang. Apakah hal ini selalu berarti bahwa yang kecil atau lemah selalu benar? Tidak juga.

Mencari Jawa(b)

Saya mencoba mencari jawab atas berbagai peristiwa kerusuhan  serta ketidaknyamanan penyandang status minoritas di negeri ini. Entah itu minor dari sisi suku, agama, pendidikan ataupun tingkat ekonominya, sungguh merupakan ironi di negeri yang katanya Bhineka Tunggal Ika ini. Ketika menguraikan masalah ini dengan tetap menginjakkan kaki saya dalam bingkai keagamaan, maka yang ada hanyalah sakit hati dan semakin menjauhkan saya terhadap hakikat hidup itu sendiri. Perlahan saya tinggalkan agama, saya tidak mau ikut-ikutan berbuat kekerasan terhadap orang lain hanya karena berbeda dengan agama saya. Saya tidak mau kehilangan saudara-saudara saya, yang minum dari mata air yang sama berseteru hanya karena berbeda agama dengan saya. Sepertinya orang yang lebih taat beragama dan rajin beribadah berbuat tidak lebih baik dari saya.

Dalam kekecewaan terhadap pemerintahan di negeri ini, saya teringat pesan Kakek saya Darso Wijoyo  “anggonmu gondelan waton sing seret, wong saiki jamane wis jaman edan”  waktu itu saya tidak memahami maknyanya. Jika diartikan secara luwes pesan Kakek saya adalah agar saya berpegang erat dengan prinsip yang hakiki, karena sekarang jamannya sudah jaman edan. Manakah yang dimaksud prinsip yang hakiki? Waton berasal dari kata watu yang berati batu. Dahulu Amben atau Dipan yang biasanya digunakan untuk duduk ketika keluarga sedang makan atau bercengkerama, disangga oleh beberapa batu. Meskipun sekarang sudah tidak lagi disangga pakai batu, tapi ketika saya duduk dibawah menggunakan Jengkok (tempat duduk kecil yang terbuat dari potongan balok) menghadap Amben, maka saya diperingatkan agar duduknya tidak menghadap Waton.

Bukan Amben atau Waton yang akan saya bahas, tetapi manakah prinsip yang hakiki yang dimaksudkan oleh Kakek saya. Jika batu penyangga Amben yang digunakan itu terbuat dari batu cadas, maka ketika Ambennya diduduki ramai-ramai akan hancur. Begitu pula kalau kalau jumlah batu yang digunakan jumlahnya kurang atau tingginya tidak sama, maka Ambennya bisa hancur dan tidak nyaman untuk duduk. Tidak ada batasan pasti berapa banyak dan berapa tinggi batu yang digunakan agar nyaman. Ketika saya mempertanyakan hal ini, maka Kakek saya menjawab “Yo dikira-kira dirasake, nalarmu dinggo” Maksudnya adalah agar saya bisa memperkirakan sendiri, dinalar dan dirasakan kebutuhannya tergantung besarnya Amben dan juga berapa banyak kapasitas yang diharapkan agar cukup dipakai oleh keluarga.

Masih juga saya tidak bisa menemukan prinsip mana yang dimaksud Kakek saya. Di lain waktu kaklek saya memberi nasehat agar “Aja gumunan, aja kagetan, aja dumeh” Jika diartikan mennjadi “ Jangan mudah terkagum, jangan mudah terkejut, jangan merasa sok atau mentang-mentang” Sedikit saya merasa lega mendengar hal itu. Terlebih di saat-saat seperti sekarang ini, serasa mendapatkan air segar dipanas yang terik.

Sewaktu muda Kakek saya bertani menjual sendiri hasil buminya. Kakek saya menamam Jagung dan Tembakau, setelah diolah dan kering Tembakau itu siap untuk dibawa ke pasar Parakan, Temanggung  yang berjarak sekitar 12 km dari kampung saya. Selain Tembakau sebagai barang dagangan untuk ditukar dengan Beras atau pakaian,  kadangkala saudara atau tetangga Kakek titip Kambingnya untuk dijual. Biasanya Kakek saya berangkat jam 3 pagi dengan memikul kerjangang berisi temmbakau, sedangkan nenek mengikuti dari belakang dengan menuntun Kambing. Saudara atau tetangga Kakek saya yang titip jual Kambing tidak mematok harga kepada Kakek saya. Setelah Kambing laku, maka Kakek saya menyerahkah hasil penjualannya jika diberikan upah ya akan diterima dan tidak pernah mengharuskan imbalan jasa. Ketika saya mepertanyakan kepada Kakek, kenapa kok tidak meminta imbalan, Kakek saya menjawab ”Ora usah njaluk, ngisin-isini. Sing aweh urip wis andum rejeki, sing ijek njaluk kuwi wong sing ora duwe” jika diartikan “Tidak usah meminta, memalukan.  Yang memberi kehidupan sudah mermbagi rejeki, yang masih meminta itu orang yang tidak punya” Lebih lanjut Kakekku menjelaskan tanpa ada titipan Kambing untuk dijualpun, Nenek saya akan selalu menemani Kakek ketika berjualan ke pasar. Toh itu Kambing juga milik saudara sendiri dan biasanya ketika mereka sedang memasak yang istimewa, mereka akan berbagi masakannya dengan kita. Waktu itu yang sering diperjual belikan adalah Kambing atau Sapi, sedangkan Babi untuk dimasak pada saat hari besar. Keberadaan Babi dan Tembakau hampir sama tuanya dengan umur desa kami. Jadi tidak peduli hari besar apa atau agama apa, potong Babi sudah menjadi kebiasaan, itu dulu.

Desember 2001 Kakek saya meninggal, tidak tahu pasti berapa umurnya, yang pasti ketika gunung Sumbing mendapatkan sumbingnya dia sudah cukup kanak-kanak, nenekku meninggal 2 tahun lebih dulu dari Kakekku. Ketika nenek meninggal tidak ada ekspresi kesedihan mendalam dari Kakek, behkan dia sendiri sambil mengenang nenek mengatakan “Mbahmu biasane mlaku nang mburi siki malah ndisiki” jika diartikan “Nenek biasanya jalan di belakang sekarang mendahului” mungkin Kakek teringat ketika mereka selalu bersama-sama ketika ke pasar.

Di saat pemakaman Kakekku, sempat terjadi keributan diantara kelima anaknya, perihal penggunaan peti jenazah. Keempat saudara bapakku tidak bisa menerima ketika Kakek dimasukkan ke dalam peti, karena itu berbeda dengan kepercayaan mereka meskipun Kakekku seorang Kristen yang taat. Bapak yang paling dekat dengan Kakek mengatakan bahwa dulu ketika Kakek masih sehat tidak ada yang mau ngurusi, sekarang ketika meninggal semuanya pada ribut, padahal ketika ditanya mengenai biaya pemakaman semuanya bilang terserah. Bapak saya yang meskipun jarang beribadah bisa sangat memahami. Kakek meninggal diperlakukan menurut tatacara ketika dia masih hidup, sedangkan anak-anaknya yang berbeda keyakinan dapat menyelenggarakan ritual paska kematian menurut tatacara masing-masing.

Sukses?

Jika dibilang sukses secara materi, maka keluarga kami tidaklah tepat dikatakan demikian. Tetapi Kakek saya sukses dalam menempatkan prinsip yang hakiki kepada anak cucunya, meskipun Dipannya lapuk dan diganti berkali-kali tapi batu penyangganya tetap. Keperbedaan agama bukan menjadi alasan putusnya hubungan persaudaraan. Ketika kita berusaha, usahakan sebaik-baiknya bukan hanya untuk diri kita, keluarga atau saudara tapi juga orang lain. Jika saya mudah terkagum dengan impian kesuksesan, maka akan dengan mudah saya akan menerima tawaran bisnis MLM. Jika saya gampang kaget, maka saya akan kecewa dengan respon keluarga bapak saya di acara pemakaman Kakek. Jika saya merasa sok dan mentang-mentang maka akan dengan mudah mendapatkan penghormatan dari keluarga besar saya dan masyarakat. Tapi semua itu tidak terjadi, tidak aku lakukan karena ketika saya harus memegang Waton dengan erat, berati saya sedang tidak duduk di atasnya melainkan di bawah.

Berada di bawah, seperti halnya sedang banjir berpegangan pada batu. Ya, banjir informasi yang menyebabkan kegelapan pikir, sekalipun informasi itu disebut sebagai kitab suci. Boleh dan sah-sah saja mengikuti saran dalam kitab suci tersebut namun seyogyanya akan semakin meningkatkan kualitas hidup yang tercermin pada hubungan dengan sesama, terutama yang berbeda keyakinan. Jika hal itu justru terjadi sebaliknya, membuat keresahan, pertikaian, merasa tidak tenang, ingin selalu menang, tidak bisa menghargai orang lain, sudah barang tentu itu informasi tersebut patut dipertanyakan.

Ketika saya memilih untuk di bawah, memegang Waton membawa konsekuensi dalam banyak hal, terutama ketika saya harus menentukan bidang pekerjaan saya.  Iming-iming kesuksesan di kota besar dan kaya tidak lagi menghinggapi saya, saya memilih untuk tetap berdekatan dengan masyarakat di desa dengan kelompok-kelompok minoritas. Ketika bersama dengan mereka serasa tidak ada lagi keterpisahan dengan Kakekku, keluargaku dan Tuhanku. Lebih syahdu lagi ketika saya bisa melihat dan merasakan Tuhanku ada dalam diri mereka baik yang beragama sama ataupu berbeda serta yang (terpaksa) beragama. Kesuksesan dan kekayaan tidak akan pernah nikmat dirasakan sendiri, yang pasti tidak akan pernah bisa membeli kebahagiaan hidup.

Adalah syukur ketika saya dapat memahami makna Waton Amben, yang dapat membawa kepada kehidupan kolektif yang lebih berkualitas, tentu dengan keberagamannya. Sama seperti halnya Amben dikeluarga saya yang harus kokoh untuk duduk seluruh anggota keluarga yang beragam kepercayaannya. Masih menjadi pekerjaan rumah bagi saya untuk mencari Waton Amben yang lainnya.

About Slamet Haryono

Hak cipta dilindungi oleh YANG MAHA PENCIPTA. Silahkan dibaca, mengutip sebagian atau keseluruhan dari setiap tulisan dalam blog ini untuk tujuan non komersial wajib menyertakan sumber dan nama penulis secara lengkap, serta digunakan dengan penuh tanggungjawab. Sedangkan untuk tujuan komersial silahkan hubungi saya melalui slamethdotkom@yahoo.com

Posted on February 9, 2011, in Javalosophy and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink. 1 Comment.

Leave a comment