Menelanjangi Gerakan Mahasiswa

 

Suatu ironi di dunia modern, bahwa kontributor kekacauan dan kerusakan yang tersistematisasi adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan tinggi.  Bagaimana tidak, koruptor yang notabene juga pegawai yang dibiayai oleh pajak dari rakyat, mereka adalah lulusan perguruan tinggi. Belum lagi konglomerat atau tenaga ahli yang dibeli konglomerat untuk mengembangkan usahanya adalah para lulusan terbaik dari perguruan tinggi terkemuka. Ketika kasus dari pengusaha atau pejabat  terbongkar, hakim dan pembela juga berkonspirasi dengan pihak kepolisian setelah mendapatkan uang suap, terbebaslah dari jerat hukum. Bandingkan dengan nasib rakyat kecil yang kedapatan mecuri telepon genggam harus terima babak belur dihajar warga sebelum akhirnya juga mendekam di tahanan.


Tidak ada manfaatnya terlibat dalam gerakan mahasiswa (?)

Saya terpaksa jujur bahwa saya tidak mendapatkan manfaat apapun dengan terlibat dalam gerakan mahasiswa, semasa masih berkuliah. Keterlibatan saya dalam gerakan mahasiswa semata-mata karena ketersesatan saya di tengah ketidaklakuan ideologi kiri dibanding pragmatisme mahasiswa. Mungkin saya terlalu naif jika saat ini harus memperhadapkan ideologi kiri dengan kapitalisme, karena justru tantangan terbesar saat ini adalah pragmatisme mahasiswa.

Barangkali ada sekelompok kecil mahasiswa yang mendapatkan manfaat dengan keterlibatan dalam gerakan mahasiswa. Manfaat secara langsung diantaranya dengan mendapatkan amplop dari sponsor atau justru dari pihak yang ketakutan karena di demo. Manfaat secara tidak langsung  adalah infestasi politis, jika yang bersangkutan ada kepentingan politis menjadi anggota dewa ataupun pejabat publik yang dipilih secara langsung tentunya keterlibatannya dalam pergerakan merupakan suatu infestasi jangka panjang. Barangkali saja saya sedang apes tidak mendapatkan manfaat itu, atau karena saya memilih untuk tidak terjun dalam hiruk pikuk politik.

Gerakan mahasiswa adalah demonstrasi (?)

Terlalu kerdil jika menafsirkan gerakan mahasiswa adalah demonstrasi, tapi setidaknya itulah yang ada dalam pemikiranku saat itu. Perlu saya ceritakan bahwa masa saya bermahasiswa adalah masa akhir perseteruan paska kemilut UKSW 1995-1996, baik pihak yang pro atau yang kontra dengan pemilihan rektor waktu itu sama-sama sudah kehabisan tenaga. Barangkali mungkin memang lebih baik demikian. Konsekuensinya adalah tidak ada yang mensupport saya baik secara ideologi ataupun secara teknis. Menjadi sangat wajar ketika di tengah pencarian identitas dan peran  LK (lembaga kemahasiswaan) UKSW kemudian muncul kekaburan makna antara gerakan mahasiswa dengan kegiatan mahasiswa.

Kala itu, sangat tidak afdol jika menjadi aktivis namun tidak terlibat demonstrasi, meski bisa mengadakan segudang kegiatan bertaraf nasional. Barangkali ini adalah sindrom dan euforia paska demonstrasi masal mahasiswa 1998 yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto. Di lain pihak ada tantangan yang cukup besar di dalam kampus ketika LKF (lembaga kemahasiswaan di aras fakultas) menjadikan LKU (lembaga kemahasiswaan aras universitas) sebagai sasaran empuk untuk menumpahkan segala kekesalan karena kekacauan dan ketidakberpihakan terhadap mahasiswa. Padahal secara umum mahasiswa juga sudah tidak respect lagi dengan yang namanya LK, oleh karena beberapa stigma miring terhadap fungsionaris LK. Mereka yang terlibat di LK adalah mereka yang frustasi dengan kuliah dengan IPK memprihatinkan, fungsionarisnya korup dan penjilat serta dikuasai oleh sekelompok orang saja.

Dorongan dari luar dan tantangan internal ditambah momentum[3] yang tepat, menjadi suatu pilihan yang strategis jika waktu itu demonstrasi menjadi pilihan. Tujuan tidak langsung dari demonstrasi waktu itu adalah untuk melakukan konsolidasi internal dan eksternal. Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan demonstrasi adalah penolakan dan pembatalan kebijakan penguasa saat itu. Meskipun saya memilih untuk turun ke jalan dan terlibat dalam demonstrasi, tetap saja saya kesusahan untuk memberi definisi atas gerakan mahasiswa. Saat itu yang saya pahami jika mahasiswa tidak bergerak maka kebijakan yang merugikan rakyat kecil tersebut akan terus bergulir, rakyat makin menderita dan penguasa semakin lalim.

Spirit gerakan mahasiswa dari masa ke masa

Pada era 1920-an segelintir mahasiswa bersekutu dan membangun kesadaran atas kesamaan nasib sebagai kaum terjajah untuk membangkitkan semangat perjuangan kemerdekaan. Setelah kemerdekaan spirit gerakan mahasiswa sempat meredup karena tersedot ke dalam partai politik yang dalam euforia negara yang baru saja merdeka. Perlahan namun pasti pada era 1960-an mahasiswa mulai berani menunjukkan taring terhadap pemerintah, terutama terhadap kiprah Presiden Soekarno yang dianggap otoriter dan tidak demokratis. Pada awal 1970-an gerakan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran atas kedatangan Perdana Menteri Jepang ke Indonesia sebagai simbol atas penolakan  ideologi kapitalisme, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Malari.

Di akhir 1970-an, pemimpin waktu itu (Presiden Soeharto) melihat bahwa kedudukan mahasiswa terlalu mebahayakan keamanan negara[4] sehingga melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu (Daoed Joesoef) memberlakukan normalisasi kehidupan kampus (NKK) dengan membentuk badan koordinasi kampus (BKK). Pemberlakuan Keputusan Menteri tentang NKK/BKK tersebut otomatis mengebiri kiprah gerakan mahasiswa di dalam kampus. Sekonyong-konyong gerakan mahasiswa menjelma menjadi berbagai macam organ ekstra kampus yang berafiliasi dengan suatu ideologi dan partai tertentu. Setelah sekian lama gerakan mahasiswa mendapat cekaman dari rezim penguasa, baru pada tahun 1998 meletus dalam suatu aksi besar-besaran yang menyebabkan Soeharto harus turun dari jabatannya sebagai Presiden RI.

Saat ini ketika kondisi sudah relatif tenang karena tidak adanya musuh bersama, maka isu-isu gerakan mahasiswa mengalami pembiasan dalam berbagai isu, diantaranya : isu tentang korupsi, penggusuran PKL, pemberlakuan UU atau peraturan tertentu[5], dan berbagai isu lokal lainnya. Ketiadaan isu sentral serta pragmatisme mahasiswa menjadikan organisasi intra kampus lebih rentan dan seringkali absen dalam aksi-kasi turun ke jalan. Menjadi mahasiswa baik-baik dan berprestasi dengan keterlibatan dalam berbagai macam kegiatan yang prestisius nampaknya lebih masuk akal.

Melawan pragmatisme dan oportunistik sektarian

Secara serampangan saya melakukan generalisasi bahwa mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi adalah mengemban mandat dari orang tuanya untuk belajar, dengan harapan setelah lulus segera mendapat kerja dan tidak lagi menjadi beban orang tua. Tidak ada alasan yang cukup mendasar untuk terlibat dalam gerakan mahasiswa melalui aksi demonstrasi, selain memang secara cerdik juga memanfaatkannya untuk membangun karir politik.  Suatu cara yang sedikit berbeda dan kreatif dari mahasiswa umumnya yang hendak mandiri secara finansial melalui prestasi akademik, yaitu dengan berpolitik.

Harus diakui, bahwa belakangan lebih mudah seorang artis menjadi politikus daripada mantan aktivis gerakan mahasiswa, namun tidak juga mengurangi minat rekan-rekan mahasiswa yang mencoba peruntungan dengan berkarir di dunia politik.  Patut bersyukur bahwa persinggungan perebutan basis masa tersebut tidak begitu terasa untuk saat ini, tidak tahu ke depan. Namun kita patut waspada mengingat kampus-kampus lain sudah menjadi ajang perebutan basis atar organisasi ekstra kampus, terlebih lagi organisasi yang berideologi keagamaan.

Karir menjadi politisi dengan menjadi aktivis organisasi ekstra kampus tersebut sedikit labih lebar ketika juga mendapatkan jabatan di dalam kampus, jika dibandingan menjadi aktivis organisasi intra kampus belaka. Persenyawaan aktivis organisasi intra dan ekstra kampus tersebut tentunya akan lebih cepat mendapatkan popularitas[6] menjadi wakil rakyat, terlebih jika organisasi ekstra kampus tersebut cukup besar dan sudah ada seniornya yang punya jabatan strategis dalam pemerintahan.

Mencari bentuk dan membangkitkan kembali spirit gerakan mahasiswa

Secara tegas saya katakan gerakan mahasiwa telah kehilangan rohnya. Betapa tidak? Secara pragmatis bahwa tidak ada manfaat terlibat dalam aksi-aksi gerakan mahasiswa. Pilihan-pilihan terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan dan berprestasi secara akademis jelas lebih menjanjikan. Basis-basis ideologi kiri dan nasionalis tidak lagi laku dijual, dibandingkan ideologi kanan yang memang secara statistik lebih diuntungkan di Indonesia umumnya.

UKSW dengan Fakultas Teologinya, apakah tidak ada yang mempunyai iman sebesar biji gajah sehingga cukup untuk menggerakan masa melawan penindasan intelektual dan kebebasan beragama[7]? UKSW dengan Fakultas Hukum dan Fisipolnya apakah tidak cukup cerdas mengkritisi kebijakan-kebijakan yang merugikan kelompok yang termarginalkan? UKSW dengan LK-nya apakah tidak cukup dewasa untuk ambil bagian dalam aksi-aksi penguatan kelompok yang termarginalkan? Bukannya bersitegang dengan permasalahan birokratis yang mengedepankan ego lembaga. Habis energi kawan…!!!

Dengan pertanyaan-pertanyaan yang memerahkan telinga tersebut apakah berarti kita secara serampangan turun ke jalan mengadakan aksi demonstrasi? Nanti dulu…Permasalahan riil saat ini ada sekitar 2 juta sarjana pengangguran, pemerintahan yang korup, rakyat kecil yang semakin rentan dan semakin rendah akses terhadap pendidikan, pelayanan publik dan kebutuhan pokok.

Jika memang basis ideologi kiri dan nasionalis tidak lagi laku keras, secara statistik ideologi kanan (kristen) tidak diuntungkan, mahasiswa demonstran yang terlanjur dicap atau memang berperilaku kurang bersahabat dengan rakyat, maka model gerakan yang seperti apa yang akan kita lakukan? Barangkali kita memang benar-benar harus lebih sungguh melakukan internalisasi nilai-nilai dan ajaran orang suci yang kemudian dioperasioanalisasikan secara kontekstual. Meninggalkan iming-iming jabatan dan pamrih, menjadi sama dan serupa dengan yang hendak diselamatkan, membangun kesejahteraan bersama tanpa garis pemisah, bersinergi mewujudkan Yerusalem baru.


[1] Disampaikan pada LMKM SMU UKSW, Muncul 23 April 2010.

[2] Peneliti di Institut Pluralisme Indonesia. Ketua Umum SMU (2005-2006), Sekretaris Umum SMU (2003-2004), Ketua SEMA FB (2002-2003).

[3] Momentum pergantian sistem semester dan trimester di dalam kampus. Diluar kampus ada momentum kenaikan tarif dasar listrik dan PDAM.

[4] Pasca pemilu 1977 mahasiswa menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden RI.

[5] Sebagai contoh tentang RUU pornografi dan pornoaksi.

[6] Popularitas merupakan salah satu syarat demokrasi yang menghendaki adanya keterwakilan.

[7] Termasuk kebebasan tidak beragama

About Slamet Haryono

Hak cipta dilindungi oleh YANG MAHA PENCIPTA. Silahkan dibaca, mengutip sebagian atau keseluruhan dari setiap tulisan dalam blog ini untuk tujuan non komersial wajib menyertakan sumber dan nama penulis secara lengkap, serta digunakan dengan penuh tanggungjawab. Sedangkan untuk tujuan komersial silahkan hubungi saya melalui slamethdotkom@yahoo.com

Posted on April 23, 2010, in Materi Pelatihan and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment